Puisi | Nermi Silaban | Aji Ramadhan | Kompas | 8 Desember 2018

Arsip Rakit
Karya: Helena Virginia Gunario


Kenangan Aroma Honje
– untuk Rasmi Naibaho
Kaubekali aku ingatan
tentang hikayat Si Mardan
sebab dalam angan remajaku
tersimpan cetak-biru suatu kota.
Sebuah kereta bersiap pergi
dan penantianmu di sana akan
berulang: kabut pagi, hujan, kemarau,
ekor meteor, rumput liar, dan
bunga-bunga kebun yang rekah dan layu.
Tak banyak yang kubawa,
hanya keteguhan dan kenangan,
meski telah kugenggam secarik tiket,
kadang derit rem kereta, lengking peluit
membuat rencanaku bergetar.
Hari demi hari di sini tak sama
saat berada di dekatmu, banyak hal
yang tak akan kauduga, bahkan mungkin
mencemaskanmu saat sirene gegana
dan gempa laut menimbulkan berita pagi.
Semoga kau dapat mengerti,
bahwa kita hidup di sisi takdir setiap orang,
seperti halnya daunan di suatu pohon,
beberapa gugur tersapu angin, sementara
kita masih bertahan pada jarak ini.
Kutunda pulang, kalender berkali usang,
aku abaikan setiap seruan stasiun,
dan gemuruh pesawat, terus berulang
dari tahun ke tahun, menenangkan rindu.
Kesabaran memang tak pernah cukup,
meski kita melipatnya ke dalam surat
atau segenap jemari yang tertangkup,
pertemuan selalu berujung kabar angin.
Kudatangi juru masak, peracik bumbu,
kususuri lorong-lorong pasar lama;
udara sesak bau lawar, rempah
dan suara yang riuh, aku tersesat
seperti kanak terlepas dari tangan ibunya.
Satu hal yang kuingat darimu
kembali mengulurkan petunjuk bagiku,
seperti saat pisau menguarkan
seiris aroma honje, dan menuntunku
ke dapur usiamu yang telah separuh abad.
Kau pun menjelma di mataku
menghidangkan segenap getir perantauan;
semangkuk arsik, pohul-pohul dan daun tumbuk
yang melintaskan kampung masa kecilmu
serta peti batu leluhur yang telah kita ziarahi.
Tidak, belum waktunya aku pulang
sebab yang telah kujanjikan padamu
bukan menyerah pada kesedihan,
atau karena tak ada impian di sini.
2018
Umpasa Bawang Batak
Sewaktu kau dicabut dari kebun,
itulah saatnya ayah
menyerahkan anak daranya.
Hiruplah gerimis pagi ini,
biar beban terasa kendur
ketika kau akan dilepas tanah
dan tangan yang mengasuh.
Hari ini, hari mempelai,
tikar pandan sudah digelar,
seekor ikan merah diantar
ke mata pisau sebagai jambar.
Tapi, sebelum kayu dibakar di tungku batu,
kenangan lampau mesti padam dahulu,
agar kuah bumbu di panci itu
tak mengubah arah kehendak.
Maka pasrahlah saat akar
dan daun keringmu ditanggal
persis di cermin timbul bimbang
selagi ia menyanggul rambut.
“Inilah berkat,” umpasa seorang tua,
sepinggan arsik bagi pengantin;
secabang sungai akan dikaruniai
insang-insang yang baru.
Dan suburlah kau kemudian
melambangkan sepasang tubuh;
tunasmu akan seperti bulu roma
dan umbimu sebagai janin.
2018
Mengenang Ziarah
– untuk Rasmi Naibaho
Di landai bukit
lonceng gereja oleng
saat tali disentak tangan pendeta,
gemanya berkepak
mendayung angin,
beban kakimu di tangga kayu.
berhenti di situ,
kautengok peti batu,
bertahun-tahun
dicemari cambang-lumut,
jemarimu gemetar menyiangi,
duka bagai angin lembap danau
di siang bulan Mei,
kaupendam di hatimu
– tak ada riak ombak,
hanya decak mulut
hanya ekor-ekor kerbau
mengibas kepungan dengung lalat.
Tentu muskil
sekelebatan angan
mengganti sebilah parang
untuk menebas
harga kepala tanduk,
hanya dapat kautukar
dengan sekebat bulung demban,
sekantung buah pinang
digabung bekal tujuh bunga,
itu pun tak cukup
bagi utang mengenang.
Solu digiring ke tepi,
meski tak seekor pun ikan di jala itu,
atau mungkin sekadar sesal,
setidaknya air matamu
telah sampai di sini,
dari sekian lama tertahan
seperti kersik seikat lidi
menyapu pekarangan.
Kau termenung di situ,
rumah panggung ibarat dagu
tertangkup kesedihan di telapak tanganmu
tatkala bayangan masa kecilmu
tergerai kembali seperti rambut kanakmu
saat didandan ompung.


Aji Ramadhan
Mahkota Bunga
Aku biarkan diri menjadi simpanan mahkota bunga penuh nektar.
Aku pilih bersembunyi dari mata lebah pekerja. Aku terima wangiku
gampang dibaui dan wujudku sukar dipandang. Aku maklum
bila diri lama merekah atau cepat meredup. Aku yakin hidup di bilik
remang. Aku enggan digapai tangan sepasang remaja kasmaran.
Aku tenang meski tanpa kawan sewarna, sehati, dan selingsir. Aku
terima dunia yang aku intip dari balik semak taman sukma. Aku
bergelora ketika menjaga jarak dari gerak cahaya yang membasuh
bayangan sendiri. Jangan menduga aku berlari dari masalah. Jangan
menduga aku melempar batu sembunyi tangan. Jangan menduga aku
diam-diam zuhud demi pencarian sesaat. “Tak ada akar yang beku.”
Ucapan asing ini makin bergentayangan. “Sebab tetap ada titik api
pada pucat humus.”
Gresik, 2018
Benang Trah
Kita menjamah padang rumput. Kita menjinakkan hewan bertanduk.
Dan kita mengapling ruang-aman agar terhindar
dari ancaman hewan bertaring. Setelah itu, benang trah leluhur
kita pasang di pohon keturunan: Mulai dari akar
sampai ke ujung daun.
Burung di angkasa boleh kita ambil wujudnya sebagai prasarana
ke kerak keabadian. Katak di rawa boleh kita ambil suaranya
sebagai prasarana ke lelap mimpi. Akhirnya kita mengenal beberapa
aturan setelah menimbang perut kenyang dan impian masa depan.
Tangan kita berhasil mengungkal tanah, menyemai jerami,
menumbuk biji, atau meraut kayu. Mulia lidah kita yang melisankan
tata cara menghidupkan diri. Mulia mata kita yang meluruskan
kebersamaan diri. Terkutuk hidung kita ketika masing-masing diri
membaui ketaksedapan intrik.
Percikan darah jangan pernah mengena pintu lumbung.
Gresik, 2018
Mata Puak
Puak mengisahkan Raja Kepiting dan Seorang Putri kepada kami:
“Seorang putri telah hanyut di laut. Raja kepiting sigap
menolong dengan melepas cangkangnya. Lalu ceruk cangkangnya
dijadikan sebagai perahu untuk seorang putri. Kisah mereka
berakhir di kamar pengantin.”
Kami bertanya kepada puak:
“Kenapa puak memaksa kisah mereka jadi bahagia?”
Kisah Raja Kepiting dan Seorang Putri mengganggu kami
yang sedang mengudap sewajan kepiting. Cuma kami sadar puak
tak akan menjawab pertanyaan. Puak hanya terus
tersenyum mengamati ampas kepiting berserak. Mata puak seperti
memberi isyarat kepada kami.
“Kelembutan bersembunyi pada kerapatan makna,” itu yang bisa
kami cuil dari mata puak.
Gresik, 2018
https://kompas.id/baca/sastra/puisi/2018/12/08/puisi-176/

Epaper Harian Kompas

Aji Ramadhan
 lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Mahasiswa Jurusan Desain Interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Sang Perajut Sayap (2011) dan Sepatu Kundang (2012) adalah dua kumpulan puisinya.
Nermi Silaban lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 17 Juli 1987. Menulis cerpen dan puisi. Buku puisinya bertajuk Bekal Kunjungan (2017).

Sumber : https://kompas.id