Puisi Kompas | Goenawan Mohamad | 1 Desember 2018


Kompas
“Semburat Dedaunan” karya Renny Ris


Di Sebuah Ladang
Malaikat yang belum bernama
menghempaskan sayapnya yang berat
ke ladang itu.
Sedetik kemudian sunyi jadi besi.
Tapi dua teriak anak
menembusnya –
tujuh kitiran kertas berjatuhan dari bendul jendela,
mungkin tanda yang mereka pasang
untuk ibu yang tak pulang setahun lalu
lari dari malam yang tuli,
sunyi yang besi, hitam yang rata,
di atas dusun –
Berikan kembali
kitiran kami.
Berikan kembali
kitiran kami.
Kulihat malaikat itu menutup matanya.
Ayo, nak, teriak lagi, kataku.
Tapi mereka diam.
Tak ada tampaknya yang bisa meminta malaikat itu terbang lagi.
Kulihat ia bertumpu pada pohon jati yang kini hangus.
Hanya bibirnya yang tebal itu bergerak.
”Namaku Nasib,” (aku kira itulah yang dikatakannya)
”tapi aku tak mau kau
memanggilku.”
2018
Matahari Pergi
Matahari pergi dan kota jadi trapesium hitam
Aku akan meninggalkannya, dari sudut yang tak lurus
dengan kaki sakit.
Di tepi plasa ini yang tampak hanya bar dan meja logam,
sisa kios koran, lorong
yang diserahkan melankoli,
seakan-akan sejarah – atau mungkin omong kosong
di perjamuan masa lalu.
Ya, aku kenal nostalgia di selatan itu –
kangen yang selalu
berwarna sepia,
karat dan rumah kayu,
potret Marilyn Monroe di atas dermaga,
tempat burung
menitipkan letihnya.
Aku tak yakin di tepi kapal itu
kau akan menungguku
Tapi apa arti menunggu –
2018
Pada Suatu Hari
Pada suatu hari maut diraut waktu
dari logam putih
Pada suatu hari nyawa lekat
pada lumut
Pada suatu hari aku menemuimu hilang
dalam kurung langit
Pada suatu hari aku melihatmu,
debu bintang
2018
Di Nalanda
Pada hari ke-67 di tahun 1193, tak ada lagi orang di jalan ke arah Rajgrih.
Api belum padam di Nalanda.
Seorang bhiksu yang selamat kemudian bercerita, panglima tentara yang memasuki Bihar melemparkan 10 suluh dari atas kudanya dan universitas itu musnah, pelan-pelan.
Pada rak-rak yang lebar, 9.000.000 buku mati
satu demi satu.
Pada malam yang paling panas di tahun 1193, seorang opsir Turki
memisahkan diri dari kemah pasukan dan kembali berjalan ke pintu yang tersisa.
Di atas bara dan bangkai-bangkai buku, ia lihat ada yang tak ia pahami. Mungkin iman.
Ada bekas empat patah kata, ”Tuhan tak ingin tua,” masih tertera, dan ia coba tahu artinya.
Ia bertanya: Adakah yang abadi? Atau hanya adrenalin ini?
Di ujung malam, ia seperti melihat seorang rahib menghilang pelan
ke dalam pohon sal
Perang ini terlalu mudah, ia ingat seorang Mamluk berkata,
tapi kemenangan tidak.
2018
Sebuah Kamus
Sebuah kamus
telah dipersembahkan dunia
kepada Tuhan yang tak berbunyi
2018
Dewa Ruci
Masukkan tubuhmu yang gempal
ke liang kuping ini, kata Dewa Ruci
Bima mencoba mengerti, tapi tak ada yang akan mengerti
kecuali ikan-ikan yang menyusup ke dalam laut
tak ingin dengarkan ombak.
Di palung hitam itu, di antara kapal-kapal purba
yang tenggelam, diam menolak doa
yang direduksi.
Hanya dengan itu Bima yakin.
Dan ia pun memasuki dewa kecil itu, seperti
memasuki yang tak ada
Ia tak tahu apakah ia jadi sakti
Ia tak tahu apakah ia berbahagia
Sedetik kemudian Dewa Ruci jadi ombak.
Masukkan tubuhmu yang tersisa, Bima,
ke dalam ada.
2018
Mak Giri, Cenayang
Mak Giri, cenayang, yang melihat kilat
melihat laut, melihat ungu,
menutup pintunya.
”Kita tak bisa berdiri di ambang ini,” kataku.
”Ya,” katamu. ”Kita mesti pergi.”
Di jalan ke arah Sumbing
pasir runtuh,
dengan bunyi
gasing.
Kau takut, kata Mak Giri
Tapi aku tak takut, kataku
Enam jam kemudian, malam datang,
kedap seperti kubus.
Terjebak, di antara garis bujur:
becek, brengsek, buntu.
Di pengeras suara masjid: KIAMAT
MEMBUNUHMU!
Tapi di jalan ke arah Sumbing
aku tak ingin iklim
menumpahkan laut,
dari kutub.
Aku tak ingin langit membuka liangnya
bersama getir
glasir.
Dan Mak Giri, cenayang, yang melihat kilat
melihat bukit, melihat ungu,
memanggil kita kembali.
”Aku kira ia menyeru namamu,” kataku.
”Tidak,” kata kau, ”ia menyeru namamu.”
”Siapa namaku?”
”Kliwon.”
”Siapa namamu?”
Tak kausebutkan.
”Jangan coba eja,” pesanmu.
”Aku lebih suka angka di sepanjang sungai
yang setengah terapung,
setengah tenggelam.”
Kau takut, kata Mak Giri
Aku tak takut, kataku
Pada umur ketika aku kian sulit
membongkok, makin sering kudengar
serak peniup bara
ketika malam dihabiskan
dengan kopi hitam
Orang memang tak berdaya, ketika waktu
melepaskan masa lalu.
Orang tak berdaya, ketika masa lalu
kehilangan fokus,
dan tak ada lagi jalan
ke arah Sumbing
Aku ingat kamar-kamar registrasi
Aku ingat mereka menanyakan alamatku.
Aku hanya ingat alamatmu.
Aku ngantuk.
Dan Mak Giri, cenayang,
tersenyum:
”Kau tak akan pergi.”
2018
Somewhere
Turis berpapasan, turis berpisahan, di meja makan, pada putih pasta tua,
dan percakapan yang ditelan hujan. Somewhere, I met you somewhere.
Di belakang itu suara batuk, lampu goyang, hitam cumi pada malam,
dan seorang tamu berteriak, ”Aku harus pergi.” Kapan? Ke siapa?
Seorang gadis menangis. Tapi aku tahu ia menyimpan ceritanya sendiri.
Dalam brandy, dalam kaca telepon genggam, sudut itu bisu. Somewhere…
2018
Di Penginapan El Duque
– dari fragmen Don Quixote
Mereka katakan tak ada mimpi & berahi
di kamar ksatria.
Tapi aku bukan besi tua, kau bukan pualam.
Di dekat jendela, tubuh kita merah padam.
Di pantatmu yang membiru, kuterakan gigit
dan tattoo itu menghitam.
Pada klimaks ke-1.000
aku dengar jerit: aku dengar diam.
2017
Arsip Rakit
Epaper Kompas

Goenawan Mohamad belum lama ini meluncurkan novel perdananya, Surti + Tiga Sawunggaling (2018). Ia telah menerbitkan sembilan buku puisi, termasuk Don Quixote (2011) dan Fragmen: Sajak-sajak Baru (2016).

Sumber : https://kompas.id