HAMPIR semua cerpen merupakan realitas imajiner. Kecuali cerpen-cerpen “khusus” yang kdimaksudkan sebagai biografi singkat dan merujuk pada kenyataan yang dialami oleh tokoh (-tokoh)nya, seperti cerpen-cerpen perjuangan. Cerpen-cerpen seperti itu adalah “kisah-kisah” nyata, yang dialami sendiri oleh penulisnya atau yang dialami oleh orang lain dan ditulis oleh seseorang berdasarkan pengalaman tokohnya. Itupun amat susah untuk menampik campur tangan imajinasi pengarangnya.
Cerpen-cerpen konvensional lainnya dibagun di atas imajinasi pengarang. Meski demikian imajinasi tidak dapat dipisahkan dengan realitas. Imajinasi ditulis berdasarkan peristiwa-peristiwa realistis yang sering dialami sehari-hari, atau yang dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Fragmen-fragmen kehidupan yang mungkin dialami oleh seseorang atau beberapa orang dapat menyatu dalam cerpen, membuat jalinan kausalitas, membangun karakter, plot, setting dan seterusnya; maka jadilah cerpen. Cerpen-cerpen yang demikian disebut sebagai cerpen-cerpen dari dunia pertama, dunia yang kita geluti ini.
Dalam cerpen dunia pertama segala sesuatu masih dapat dikenali. Hukum-hukum alam yang konvensional berlaku di dalamnya. Demikian juga dengan hukum negara sebagaimana dalam KUHP, hukum sosial yang berlaku di masyarakat, adat istiadat/kebiasaan dan konvensi-konvensi lainnya. Jika seorang tokoh digambarkan jatuh dari apartemen lantai tiga maka hukum alam membuatnya mati. Hanya “keajaiban” --yang juga masih merupakan konvensi dunia pertama, yang akan menyelamatkannya dari hukum alam itu. Jika seseorang tokoh digambarkan membunuh, maka secara logis akan berhadapan dengan hukum negara (Pidana). Hanya keajaiban --sekali lagi “keajaiban” sebagai konvensi dunia pertama dapat muncul di mana-mana, yang dapat menghindarkannya dari jeruji penjara.
Konvensi-konvensi dunia pertama, dunia yang kita diami ini akan senantiasa menjadi “aksesoris” penting dalam cerpen-cerpen konvensional. Kendati semuanya hanyalah fiktif dan tak bisa dijejaki faktanya. Demikianlah misalnya ketika kita membaca cerpen “Pertengkaran” karya Wildan Yatim, kita tidak dapat mencari faktanya, meski Wildan menulisnya dengan sangat realistis.
Ada hal yang menarik pada jurnal sastra tertua AS, “The Atlantic Monthly”. Editor fiksi di jurnal ini merasa perlu melakukan check terhadap kebenaran fakta pada cerpen yang diterimanya. Sebuah cerpen yang mengambil lokasi di Plaza Hotel New York; dan dalam cerita itu pengarang menyebut penggunaan kunci kamar berbentuk kartu plastik. Tapi dari hasil pengecekan editor Plaza Hotel ternyata tidak menggunakan kartu sebagai kunci, melainkan kunci logam yang dimasukkan ke dalam lubang kunci. Karena itu editor harus merubah detail tersebut demi kebenaran. Tapi tentu saja hal tersebut bukan penyimpangan realitas. Ini hanya kebijakan editor yang berpandangan bahwa apa yang ditulis dalam sebuah fiksi adalah sebuah kebenaran yang tidak berpura-pura.
Cerpen-cerpen konvensional lainnya dibagun di atas imajinasi pengarang. Meski demikian imajinasi tidak dapat dipisahkan dengan realitas. Imajinasi ditulis berdasarkan peristiwa-peristiwa realistis yang sering dialami sehari-hari, atau yang dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Fragmen-fragmen kehidupan yang mungkin dialami oleh seseorang atau beberapa orang dapat menyatu dalam cerpen, membuat jalinan kausalitas, membangun karakter, plot, setting dan seterusnya; maka jadilah cerpen. Cerpen-cerpen yang demikian disebut sebagai cerpen-cerpen dari dunia pertama, dunia yang kita geluti ini.
Dalam cerpen dunia pertama segala sesuatu masih dapat dikenali. Hukum-hukum alam yang konvensional berlaku di dalamnya. Demikian juga dengan hukum negara sebagaimana dalam KUHP, hukum sosial yang berlaku di masyarakat, adat istiadat/kebiasaan dan konvensi-konvensi lainnya. Jika seorang tokoh digambarkan jatuh dari apartemen lantai tiga maka hukum alam membuatnya mati. Hanya “keajaiban” --yang juga masih merupakan konvensi dunia pertama, yang akan menyelamatkannya dari hukum alam itu. Jika seseorang tokoh digambarkan membunuh, maka secara logis akan berhadapan dengan hukum negara (Pidana). Hanya keajaiban --sekali lagi “keajaiban” sebagai konvensi dunia pertama dapat muncul di mana-mana, yang dapat menghindarkannya dari jeruji penjara.
Konvensi-konvensi dunia pertama, dunia yang kita diami ini akan senantiasa menjadi “aksesoris” penting dalam cerpen-cerpen konvensional. Kendati semuanya hanyalah fiktif dan tak bisa dijejaki faktanya. Demikianlah misalnya ketika kita membaca cerpen “Pertengkaran” karya Wildan Yatim, kita tidak dapat mencari faktanya, meski Wildan menulisnya dengan sangat realistis.
Ada hal yang menarik pada jurnal sastra tertua AS, “The Atlantic Monthly”. Editor fiksi di jurnal ini merasa perlu melakukan check terhadap kebenaran fakta pada cerpen yang diterimanya. Sebuah cerpen yang mengambil lokasi di Plaza Hotel New York; dan dalam cerita itu pengarang menyebut penggunaan kunci kamar berbentuk kartu plastik. Tapi dari hasil pengecekan editor Plaza Hotel ternyata tidak menggunakan kartu sebagai kunci, melainkan kunci logam yang dimasukkan ke dalam lubang kunci. Karena itu editor harus merubah detail tersebut demi kebenaran. Tapi tentu saja hal tersebut bukan penyimpangan realitas. Ini hanya kebijakan editor yang berpandangan bahwa apa yang ditulis dalam sebuah fiksi adalah sebuah kebenaran yang tidak berpura-pura.
Demikianlah detil yang sesuai dengan fakta dunia pertama sangat penting untuk meyakinkan pembaca atas konvensi-konvensi yang dikenalnya. Cerpen konvensional adalah cerpen-cerpen yang segala “aksesorisnya” ditulis berdasarkan fakta yang telah dikenal oleh pembaca.
Tapi cerpen juga dapat dibangun dari dunia yang berbeda; dunia kedua. Cerpen-cerpen demikian dikenal sebagai cerpen inkonvensional. Cerpen-cerpen dunia kedua umumnya bersifat surialistis, sebuah dunia yang lebih dari sekadar realistis. Aksesoris cerpen-cerpen dunia kedua, meski masih dikenal secara konvensional oleh pembaca, namun logikanya kadang bertentangan dengan logika umum. Tokoh-tokohnya bukan lagi manusia darah-daging, tapi ia adalah konsep dari manusia atau bukan manusia. Tokoh (tokoh) nya boleh apa saja, kecoak, malaikat jibril, cahaya, mahluk tak dikenal, ayat kursi, sepatu, manusia metamorf, mahluk mitologis, dan tokoh (tokoh) imajinatif lainnya. Demikian pula setting ceritanya tidak lagi harus di atas dunia nyata, ia boleh terjadi di angkasa luas, di bawah laut, di akhirat dan di dunia antah-berantah. Cerpen-cerpen Putu Wijaya dalam “Yel”, Danarto dalam “Adam Ma’rifat”, Aliefya M. Santri dalam “Alinea”, Franz Kafka dalam “Metamorfosis” dan dongeng-dongen Oscar Wilde tergolong pada cerita-cerita dari dunia kedua ini.
Meski demikian cerpen-cerpen dunia kedua sesungguhnya tidak lepas dari konvensi dunia pertama. Apa yang diceritrakan dalam cerpen-cerpen dunia kedua yang inkonvensional selalu dilihat dengan pandangan dunia pertama yang konvensional. Distorsi pandangan ini yang melahirkan keanehan-keanehan yang menarik. Kemapuan pengarang menguraikannya secara “logis” membuat peristiwa-peristiwa yang “tidak logis” itu dapat diterima tanpa gugatan. Segalanya tidak perlu dipertanyakan mengapa demikian. Putu Wijaya membuat “kecoak” dapat berkomunikasi dengan manusia dan diberi perasaan cinta dan benci serta cita-cita layaknya manusia karena semuanya dilihat dari konvensi dunia manusia. Tokoh kecoak dalam “Kecoak” (Putu Wijaya) sesungguhnya adalah konsep dari manusia. Demikian pula dengan tokoh “Ayat-Ayat Kursi” dari Danaro dan tokoh manusia-manusia super dari Budi Darma. Demikian pula dengan Kafka dalam “Metamorfosis” dan cerita klasik “Pangerang Bahagia” karya Oscar Wilde dengan tokoh burung layang-layang dan patung Sang Pangerang Bahagia. Cerpen-cerpen dunia kedua tidak lagi mengindahkan konvensi-konvensi yang terjadi pada dunia pertama. Hukum alam, hukum negara, adat istiadat/kebiasaan dan sebagainya boleh jungkir balik di dalamnya. Realitas dan imajinasi berbaur dalam bingkai cerita yang inkonvensional.
Barru, 2016
Karya : Badaruddin Amir
Rujukan :
- Disalin dari File Badaruddin Amir
- Pernah tersiar di Rubrik Budaya Koran Fajar Makassar, Edisi 31/7/2016