Pelangon




SEPULUH tahun kemudian, seperti janjiku, aku mengunjungi Taman Wisata Pelangon untuk membuktikan kebenaran kata-kata nenek itu bahwa salah satu dari monyet-monyet yang menghuni taman wisata ini adalah ibuku. Aku keluar dari rumah secara diam-diam setelah menjerang air, menanak nasi, dan menyiapkan lauk-pauk untuk sarapan dan makan siang serta segala keperluan ayah. Aku berjalan berjingkat keluar melalui pintu samping. Ayah masih berbaring di kamarnya ketika aku mengintipnya lewat jendela sebelum berjalan ke arah jalan beraspal.

             Ayah akan marah kalau tahu aku pergi ke Pelangon. Bukan karena aku percaya kata-kata nenek itu, melainkan karena dia membenci ibuku yang telah mengkhianatinya. “Ibumu telah mati, Punang. Lupakan dia,” kata ayah setiap aku bertanya tentang ibuku. Lalu duduk menekur seperti memikirkan persoalan yang tak dapat dipecahkan. Wajahnya penuh gurat kasar. Matanya cekung dengan tulang pipi bertonjolan. Di atas kelopak mata itu selapis bulu-bulu halus serupa ditempelkan sekenanya.

             “Aku hanya ingin bertemu ibu, ayah. Aku ingin tahu perempuan yang melahirkanku,” ujarku, lahar panas menggenangi kelopak mataku. Begitu bencinya Ayah kepada ibu, hingga ia membuang semua benda-benda yang mengingatkannya kepada perempuan itu. Bahkan aku tak menemukan fotonya, atau foto pernikahan mereka.

           “Untuk apa bertemu orang yang tidak peduli pada kita,” suara ayah meninggi dan bergetar menahan kemarahan sekaligus kekecewaan yang begitu besar. Aku hanya diam menahan kesedihan, lalu masuk kamar dan menumpahkan airmataku di atas bantal. Esoknya, ketika aku pulang sekolah agak terlambat aku mendapati ayah ngos-ngosan, sepasang matanya tampak merah. Kata tetanggaku ayah baru saja mengusir rombongan topeng monyet yang tengah menggelar atraksi di tikungan jalan depan rumah. Ayah memang sangat membenci monyet. Tanpa berkata apa-apa, aku meninggalkannya ke kamar.

            Dalam kamar aku berpikir mencari cara bertemu ibu. Betapa besar keinginan itu. Tapi aku juga tak kuasa melihat ayah yang kecewa karena keinginanku. Sejak kecil, ketika aku mulai dapat mengingat, aku tak pernah mendapati ibu di rumah seperti teman-temanku. Ayah seorang diri dengan sabar dan telaten mengurusku.

           Ayah menyuapiku makan, mengantarku ke sekolah sebelum dia sendiri kemudian berangkat ke ladang. Sepulang sekolah, begitu tiba di rumah ayah telah menyiapkan makanan kesukaanku. Ayah selalu membelikan boneka dan mainan apa pun yang kuinginkan. Semua agar aku tak bersedih dan bertanya tentang ibu lagi. Begitulah bertahun-tahun ayah mengurusku sampai sekarang aku telah lulus aliyah.

         Terus terang sampai sekarang bagiku tak pernah terang mengapa ibu meninggalkan kami. Aku hanya tahu berdasarkan keterangan ayah bahwa ibu berkhianat. Apakah bentuk pengkhianatan ibu, aku tak pernah tahu. Ayah diam saja ketika kutanya, apakah ibu pergi meninggalkan kami karena laki-laki lain?

         “Ayah beri tahu, ibumu meninggalkanmu waktu umurmu tiga tahun. Apakah ini belum terang buat kamu, Punang?” begitu kata ayah selalu. Mungkinkah
hanya karena tidak mencintai ayah, ibu meninggalkan kami? Kalau ibu tidak mencintai ayah, kenapa mereka menikah dan aku hadir di tengah-tengah mereka? Bagiku ini tidak cukup dijelaskan dengan keterangan ayah bahwa ibu berkhianat. Hanya dengan cara bertemu dengan ibu aku kira aku akan mendapatkan penjelasan semua ini. Inilah yang sekarang akan aku lakukan. Aku berjanji apa pun penjelasan dari ibu, sikapku tak akan berubah kepada ayah.

          Ketika kuceritakan tentang nenek itu yang mengatakan bahwa salah satu dari monyet-monyet di Pelangon adalah penjelamaan ibu, ayah menatapku dengan kemarahan yang tertahan-tahan. Aku tak tahu apakah kemarahan ayah karena istrinya menjelma monyet atau karena kebenciannya kepada perempuan itu. Sungguh aku tak dapat menafsirkan kemarahan ayah. Ia tiba-tiba berujar dengan kata-kata keras, "Kelakukan ibumu memang seperti monyet!” Sejak itu aku tak pernah menyinggung-nyinggung lagi tentang ibu dalam percakapan kami. Namun aku terus memendam perasaan rinduku kepada ibu.

         Aku turun dari angkutan kota dan langsung menuju konter tiket. Aku melangkah pelan-pelan sambil mengamati suasana sekitar. Tidak banyak yang berubah, kecuali pohon-pohon yang semakin tua dan rimbun. Akar-akarnya yang besar mencuat ke permukaan membuat tanah bergelombang dan meretakkan beberapa ruas tangga batu yang tampaknya disusun asal-asalan. Monyet-monyet bergelantungan di sulur-suluh pohon yang menjuntai serupai tirai, lalu mengejar para pengunjung yang membawa makanan seperti dulu. Anak-anak bersama orang tua mereka menjerit-jerit kegirangan melihat seekor monyet lucu menangkap tangannya yang membawa sepotong pisang ambon.

         Aku terus melangkah mendaki tangga batu. Aku akan berjalan sampai ujung tangga batu ini. Di sana ada pohon waru tua. Di sanalah nenek itu menungguku. Dialah yang akan menuntunku menemui ibuku. Aku tak mengacuhkan seekor monyet yang menguntit langkahku dalam jarak tertentu. Monyet itu seakan mengamati gerak-gerikku. Nenek itu berpesan supaya aku tidak menghiraukan monyet-monyet itu sebelum bertemu dengannya. Begitulah, aku terus melangkah. Dan monyet terus menguntitku, membuatku penasaran ingin berhenti sebentar dan menoleh ke arahnya. Melalui ekor mataku sepintas monyet itu tampak mungil dan lucu. Membuatku tak tahan benar-benar ingin melihat wajahnya. Tapi aku tak boleh melanggar pesan nenek itu.

         “Sekali kau menoleh, kau tak akan bertemu ibumu selama-lamanya,” pesan nenek itu. Aku terus melangkah. Monyet itu seperti memanggil-manggil namaku. Baiklah kuceritakan bagaimana aku mempercayai nenek itu.

         Dia adalah penunggu Taman Wisata Pelangon. Kami memang tidak menemuinya di taman ini, melainkan di rumah kami. Ia hendak mengambil monyet yang kami bawa dari taman ini sepuluh tahun lalu. Monyet itu lucu sekali, dan aku menginginkan ia ikut dibawa ke rumah. Ayah sudah melarangku. Namun di luar dugaan, monyet itu tiba-tiba muncul dari dalam tasku begitu kami sampai di rumah. Ayah bersikeras mengembalikan monyet ke Pelangon sekalipun aku merajuk dan merengek.

          Esoknya, ketika ayah hendak ke Pelangon untuk mengembalikan monyet itu, nenek itu muncul di depan pagar rumah kami, seperti sengaja menghadang niat ayah. Dan memang begitulah yang terjadi, ayah urung mengembalikan monyet itu.

        “Biarkan monyet ini di sini menemani Punang, mungkin monyet ini jodoh kalian,” kata nenek itu, “kelak akan kuambil apabila kami membutuhkannya untuk menggantikan monyet yang hilang,” ujar nenek itu. Ayah masih tertegun ketika nenek itu menjelaskan bahwa ia penunggu monyet-monyet di Pelangon. Monyet-monyet di sana berjumlah 300 ekor tidak lebih dan tidak kurang sejak ratusan tahun silam; monyet lucu itu adalah monyet ke 301.

          Seperti yang dijanjikan, suatu hari nenek itu datang untuk menjemput monyet yang kuberi nama Si Mongki. Ayah senang sekali, sebaliknya aku bersedih lantaran sudah begitu dekat dan menyayangi Si Monki, dan karena itulah justru yang mengkhawatirkan ayah. Sebelum berlalu nenek itu membisikkan sesuatu padaku tentang ibu. Tentang orang-orang yang pada masa lalu dikutuk menjadi monyet dan menghuni Pelangon.

         Pohon waru tua di puncak bukit ini telah tak ada. Tampaknya telah ditebang dan digantikan pohon baru. Aku celingukan mencari nenek itu.

**

IA adalah laki-laki penyendiri. Kawan-kawannya mengolok-olokinya sebagai bujang lapuk. Bukan tak ada gadis yang mendekatinya, melainkan tak satu pun gadis yang berusaha merebut perhatiannya menarik hatinya. Ketika ada gadis yang sangat menarik perhatiannya, gadis itu menolak cintanya. Ia pun merasa terpukul dan makin menjadi penyendiri; berkubang begitu dalam di palung kesedihan. Hatinya yang patah nyaris tak dapat dijahit kembali.

         Suatu hari ia membawa hatinya yang patah ke Taman Wisata Pelangon. Hari itu pengunjung sedang sepi karena memang bukan hari libur. Laki-laki itu duduk berjam-jam memperhatikan tingkah monyet-monyet yang lucu-lucu dan membuatnya mengulum senyum. Mereka berebut setandan pisang yang ia beli dari pasar. Ia melempar pisang itu satu persatu sampai habis dan tahu-tahu hari sudah remang dan menggelap dengan cepat. Ia hampir beranjak ketika dilihatnya seorang perempuan muncul dari balik rimbunan pohon. Pakaiannya aneh seperti penari sintren.

          Perempuan itu melangkah limbung seraya merapikan rambutnya yang panjang berantakan dan kotor oleh guguran daun-daun kering. Dalam keremangan ia dapat melihat kecantikan perempuan itu yang menakjubkan. Dada laki-laki itu berdebar oleh perasaan cinta.

       “Tolonglah saya,” Ia mendengar perempuan itu meminta tolong. Laki-laki itu segera menyingkirkan keraguannya dan bergegas menghampiri perempuan itu.

            “Kamu butuh pertolongan?” 


           “Bawalah saya dari pergi dari tempat ini.” 

           Laki-laki itu membawa perempuan itu pulang ke rumah. “Maukah kamu menikah denganku,” kata laki-laki itu mantap setelah perempuan itu mandi dan terlihat lebih segar. Perempuan itu menatap si laki-laki.

           “Kamu akan menyesal kalau menikah denganku. Aku seorang pelarian.”

          “Siapa pun kamu, aku tak akan menyesal menikahimu. Aku akan melindungimu.”


**

AKU hampir putus asa dan hendak berbalik pulang, ketika entah dari mana munculnya nenek itu tiba-tiba menggaet tanganku. Tersaruk-saruk aku mengikuti langkah nenek itu tanpa bertanya apa pun, ia membawaku memasuki hutan yang makin lebat oleh pohon besar, menjauhi jalan setapak dan tiang listrik. Napasku terengah-engah namun terus melangkah. Nenek itu menghentikan langkahnya di depan mulut gua.

           “Ayo masuk,” ajaknya.

            Di dalam gua terlihat kelip-kelip nyala pelita.

           “Tempat apa ini, Nek?”


          Nenek itu tak menyahut. Ia terus membawaku semakin ke dalam. Kami mendekati pelita. Ia tiba-tiba mengibaskan tangannya mematikan pelita. Seketika ruangan menjadi gelap. Aku mengeratkan genggaman tanganku ke tangan nenek itu untuk mengurangi ketakukanku. Secara perlahan ruangan menjadi terang, begitu terang. Dinding gua memancarkan cahaya. Di sebungkah batu berwarna putih dengan lapisan bantal di atasnya, seekor monyet duduk . Hatiku bergetar. Monyet itu menatapku dengan matanya yang tajam namun penuh kesedihan.

                                                                                        Cirebon, 20 Desember 2015

Karya : Aris Kurniawan*



Rujukan :
  1. Disalin dari file Aris Kurniawan
  2. Pernah Tersiar di Koran Harian Kompas, Edisi 31/7/2016  



*Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen dan puisinya yang telah terbit: Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005); dan Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007). (MgP)