“BAGIKU neraka adalah kertas kosong. Dan aku berada di hadapannya, tanpa bisa memikirkan satu hal yang pantas untuk disampaikan, satu karakter yang bisa dipercaya keberadaannya oleh orang lain, atau satu cerita yang belum pernah diceritakan sebelumnya”, kata Neil Gaiman, seorang cerpenis, novelis dan penulis terkenal asal Inggris.
Dalam berbagai pelatihan menulis sering kita mendengar pernyataan seperti itu : “Kami sudah berjam-jam di depan laptop, namun tak satu kalimat yang dapat kami tulis. Kami tidak menemukan ide untuk memulai sebuah cerpen” kata mereka. Lalu mereka menanyakan “dari mana” ide dalam menulis itu. Ide dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menulis.
Saya sering kesulitan memberi jawaban memuaskan. Persoalannya bukan karena sumber-sumber ide tak dapat dideskripsikan, melainkan karena pada umumnya yang disebut ide tidak merupakan bagian penting dari proses kreativitas menulis. Lebih dari itu, jawabannya memang terlalu sederhana.
Ide untuk menulis cerpen dapat diperoleh dari mana saja: peristiwa tabrakan di depan rumah, dua pengemis di simpang jalan, cerita teman yang mengalami nasib sial, atau dari sebuah buku yang baru saja selesai dibaca. Semua peristiwa “biasa” dan sering dialami dalam kehidupan sehari-hari. Banyak ide bersileweran di hadapan kita. Tinggal memungutnya saja.
Cerpenis dan penulis novel A.A. Navis (alm), bahkan konon pernah mendapat ide menulis salah satu cerpennya saat jongkok di WC. Dan Budi Darma mendapat ide untuk menulis novelnya “Olenka” saat bertemu dengan seorang wanita dan tiga anak jembel di sebuah lift apartemennya Tulip Tree, Boomington. Peristiwa sehari-hari seperti itu bisa dialami oleh semua orang. Perbedaannya, bagi yang bukan penulis mungkin peristiwa itu akan terlewatkan begitu saja dan segera terlupakan. Tapi bagi seorang penulis, peristiwa yang “biasa” itu akan menjadi “luar biasa” setelah ia
memungutnya menjadi sebuah ide untuk ditulis. Kalau demikian masihkah perlu dipertanyakan dari mana ide untuk menulis?
Neil Gaiman hanya punya ketakutan pada “neraka” kertas kosong. Semua penulis --termasuk penulis terkenal, memang pernah mengalami keadaan seperti itu. Kalimat pertama tak kunjung keluar padahal sudah berjam-jam di depan laptop. Penyebabnya bukan karena tak ada ide yang layak ditulis, karena ide –seperti kata Gaiman—dapat saja dibuat sendiri tanpa persentuhan langsung dengan peristiwa apapun. Ide dapat melayap sendiri saat jari-jari tangan sudah menekan huruf pertama tuts mesin tulis atau laptop.
“Jika Anda sering menulis maka ide-ide akan mengalir sendiri melalui jari-jari tangan anda.” Nasihat seorang penulis. Semuan dapat tersusun secara kebetulan. Seperti Budi Darma yang menulis novelnya dari serangkaian kebetulan yang bertautan secara kausalitas dan jadilah novel “Olenka” yang pernah dianggap fenomenal itu. Atau seperti Putu Wijaya yang mengaku tak mengetahui teknik menulis novel; dan terus saja menulis dengan lancar dan jadilah sebuah novel.
Membaca Karya Orang Lain dan Pengalaman Menulis
Pengalaman membaca sesungguhnya adalah rangkaian pengalaman “menulis” bagi seorang penulis. Semakin banyak kita membaca karya orang lain maka semakin luaslah wawasan, sekaligus akan semakin banyak menemukan resep menulis dari orang lain. Jika ada penulis malas membaca karya orang lain ibaratnya seperti koki yang hanya mengagumi satu resep. Karena itu yang membedakan seorang penulis adalah keluasan bacaannya, frame of referensi-nya. Kalau anda menulis cerpen tentang Tanah Toraja misalnya, tentu cerpen Anda akan lebih baik jika sebelumnya memahami budaya lokal daerah tersebut. Itulah sebabnya David Hare, penulis naskah dan sutradara dari Inggris menasihatkan agar penulis jangan segan-segan mengembangkan wawasannya. Seorang penulis harus menulis dengan wawasan yang luas, jangan pernah berspekulasi dalam menulis.
Seorang penulis memang tidak mutlak harus memiliki pengalaman avonturir seperti terlibat peperangan atau harus menjadi pelaut untuk menulis novel berlatar peperangan atau kehidupan seorang pelaut. Pengalaman-pengalaman batiniah melalui bacaan, cerita orang lain tentang hal itu, yang mungkin juga dilengkapi dengan riset sudah cukup menjadi referensi untuk menuliskannya. Meski pengalaman kongkrit yang dialami sendiri, seperti Ernest Hemingway saat menulis “A Farewell to Arms” atau “The Old Man and the Sea” tentunya akan lebih baik lagi. Tetapi pengalaman kongkrit bukanlah jaminan kualitas tulisan kita. Tergantung pada bagaimana kita mengomunikasikannya dengan bahasa yang baik. Hemingway dianggap berhasil dalam dua novel tersebut bukan karena pengalaman kongketnya, melainkan karena ia memang seorang pengarang piawai, mampu mendeskripsikan peristiwa-peristiwa avonturir tersebut dengan bahasa yang baik.
Dengan demikian ide memang tidak terlalu penting dalam menulis cerpen. Yang sangat penting adalah proses menulis ide tersebut. Ide dapat ditemukan dari mana saja pada setiap sudut kehidupan sehari hari, namun menulisnya membutuhkan pengalaman. Dan yang dimaksud dengan pengalaman ini adalah serangkaian penguasaan bahasa, penguasaan gaya (style dan stilistika), penguasaan setting, plot cerita, karakteristik tokoh dan lain-lain, termasuk penguasaan wawasan tentang tema yang sedang ditulis. Jika penguasaan-penguasaan ini sudah dimiliki oleh seorang penulis maka ketakutan pada “neraka” kertas kosong dapat terhindarkan.
Barru, Juni 2016
Karya : Badaruddin Amir*
Rujukan:
- Disalin dari File Badaruddin Amir
- Pernah tersiar di Koran Fajar Makassar, 19/6/2016
*Badaruddin Amir, lahir di Barru pada 4 Mei 1962. Menulis esai, puisi dan cerpen di beberapa media. Bukunya berjudul Aku Menjelma Adam (Kumpulan puisi, 2002), Karya sastra sebagai Bola Ajaib (kumpulan esai sastra, 2008), Latopajoko & Anjing Kasmaran (kumpulan cerpen, 2007), dan Laki-Laki yang Tidak Memakai Batu Cincin (kumpulan cerpen, 2015). Karya-karyanya yang lain dimuat dalam puluhan antologi bersama. Nopember 2005 menerima anugrah seni bidang sastra Celebes Award dari Pemerintah Provinsi Sulawesi selatan. Aktif sebagai Kepala SMP dan wartawan majalah dunia Pendidikan Dinas Pendidikan Propinsi Sulawesi selatan. Beralamat di Jl. Pramuka 108 Barru, Sulawesi selatan, 90711. Email badarsaja@yahoo.co.id, facebook: Badaruddin Amir.