AKU tak tahu persis bagaimana dalam prosesnya hujan membuat dunia menjadi lebih indah. Terlebih jika pelangi mewarnai setelahnya. Harum petrichor selalu menusuk rongga hidung, memaksaku untuk sejenak merenung. Sedari dulu, setelah hujan adalah waktu yang paling kusuka untuk merenung. Di dalamnya ada berjuta pesona. Terlebih lagi jika aku bisa melihat pelangi. Jika tidak pun, aku akan melukisnya dengan imaji. Di ujungnya berharap aku bisa melihat bagaimana para bidadari turun ke bumi. Entah di laut mana, atau sungai yang mana ia menyuci diri, masih menjadi misteri.
Sore ini beruntung, aku masih kebagian wangi petrichor itu. Sudah lama kami merindu November. Berjuta kesah tumpah ruah di bumi, dihisap oleh terik mentari, digumulkannya tuk sekian lama, hingga kesah itu diturunkanNya lewat kisah. Kisah di mana teriakan orang-orang yang merindu air. “Hore hujan!”, Alhamdulillah hujan!”, begitulah yang terdengar beberapa hari dalam seminggu ini.
Usiaku mungkin tak muda lagi. Nanti malam, pukul 2:30, jika langit masih memuntahkan isi perutnya, genap usiaku enam puluh tahun. Aku ingat almarhum ibu memberitahukanku ihwal itu. Mungkin itu juga sebabnya kenapa aku menjadi perindu hujan. Karena hujan menjadi saksi enam puluh tahun yang lalu di sebuah desa di Pulau Jawa, seorang yang kini hidup sendiri itu dilahirkan. Aku.
Bagiku, kesendirian itu hal yang menyenangkan. Tidak mengganggu, juga tidak diganggu. Sudah lama aku hidup seperti ini. Namun, aku tak merasa sepi. Sepi, bagiku, ketika aku tidak bisa menghirup wangi petrichor. Sepi itu pada saat aku tak dibelai basah. Entah mengapa, sampai detik ini, misteri itu selalu menjadi realita. Kata-katamu, sumpah-sumpahmu, benar-benar terbukti. Aku seperti ini.
Taukah kau, apa yang terjadi pada saat hujan tak kunjung turun? Hidupku bagai bramacorah yang diburu sejuta serdadu. Resah, gelisah. Meski keberanian setinggi langit, bramacorah selalu takut mati dalam kekonyolan. Begitulah aku. Itu yang kurasa kini. Sungguh berbeda kala dulu aku belum mengenalmu. Hujan atau tidak, itu sama saja.
Mungkin sudah titah Tuhan yang memerintah kedua ruh kita menggerakkan raga untuk saling bertemu. Di sebuah kekeringan. Di sebuah kerinduan akan air hujan. Di mana tanah sawah terpecah belah. Di dalamnya ada ikan khutuk kembangkempis bernapas dengan labirin-nya. Andai hari itu tidak hujan, hari itu juga ia akan mati. Begitu pun kita berdua pada sore itu. Setelah hampir satu tahun lamanya hujan tak kunjung datang, akhirnya Tuhan berbaik hati.
Aku melampiaskan sukacita itu dengan bermandi hujan. Bersama kerabat, mencumbu petrichor. Saling lempar-melempari, sudahnya kami bilas dengan derasnya hujan itu sendiri. Tentu kau masih ingat kenangan itu, bukan? Kaulah satu-satunya yang tersenyum di sudut sana. Melihat para lelaki bertingkah polah seperti anak kecil. Apa mungkin saat itu kita masih kecil? Mungkin juga memang masih kecil. Atau, baru beranjak meninggalkan fase menjadi anak kecil? Itu dulu, saat kau menunggu hujan reda di sudut sana. Di sebuah warung yang tak mewah milik Mbok Minah. Hingga akhirnya aku dengar panggilanmu itu, “Wiryo!”. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arahmu dan kuseret paksa kau untuk ambil bagian dalam pesta rindu itu. Kau tampak malu-malu. Atau juga kau takut bila keesokan jatuh sakit dan tak bisa berjualan peuyeum buatan orangtuamu. Tapi, aku tak mau tahu.
Benar saja, keesokan, tidak kudengar suaramu melewati pagar rumahku. Aku masih ingat betapa suara khasmu itu bisa meloncati pagar tinggi rumahku, lalu perlahan mencari celah tersempit dari bangunan rumah bergaya Eropa yang dibeli orangtuaku dari seorang keturunan Belanda. Lalu, ia masuk dan mencari di mana gerangan pemilik telinga itu berada. Namun, tetap saja, sedari kecil, jika aku ingin sesuatu, ibu menahanku untuk tidak beranjak. Termasuk setelah waktu itu, kau sudah tampak lebih anggun dengan usia yang lebih matang, berkeliling sedari kau kecil menjualkan peuyeum buatan orangtuamu. Aku tak paham apa mau ibu.
Ia hanya bilang, “Wes neng jobo wae, Le..biar si mbok sing nukokke peuyeum. Cah lanang gak apik metu gor tuku panganan koyok kuwi!”. Bagiku, penganan yang kau jualkan itu bukan sekadar nikmat. Tentunya diolah lagi dengan campuran tepung terigu, setelahnya direndam dalam minyak yang mendidih. Peuyeum, atau tape, atau apalah itu namanya, akan selalu menjadi penganan ternikmat sembari menikmati hujan.
Sedari hari itu, aku menjadi lebih berani. Tanpa sepengetahuan ibu, aku sering keluar rumah hanya untuk bertemu denganmu. Kau paham betul, sedari kecil, aku hanya dibolehkan keluar bersama kerabat-kerabatku itu. Satu-satunya waktu agak lama ketika belajar mengaji di musala Mbah Darmo. Termasuk pada hari itu, pada hari ketika aku seret kau tuk menikmati turunnya hujan. Sewaktu pulang, di mana tampak kau sedang berteduh di warung Mbok Minah sehabis berkeliling menjual peuyeum.
Ada yang berbeda dulu ketika aku bicara tentangmu kepada ibu. Wajah ibu yang selalu semringah itu mendadak ditekuk bila mendengar namamu dari bibirku. Aku tak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Yang kutahu, ibu dan bapak adalah orang, yang bila bertemu dengan warga di kampung itu, mereka warga kampung selalu membungkukkan badan. Dan rasanya, aku tidak pernah mendengar panggilan “Raden, atau Den” terucap dari bibir orang kampung itu kepada orang lain, kecuali bapak dan ibu. Bapak dan ibu sosok penyayang pada sesama. Tak terhitung berapa kali ia membantu orang-orang miskin di kampungku itu. Tapi, aku heran, lagi-lagi ketika aku bicara tentang keluargamu padanya, atau sekadar memperbincangkan masalah peuyeum atau tape, mereka menjadi tak berminat. Bahkan, lambat laun, aku dilarang menyebut makanan itu dengan sebutan peuyeum. “Kita orang Jawa, Le, nyebutnya tape, ojo peuyeum, ngerti kowe?” Begitulah kata ibu.
SETELAH lulusnya aku dari sekolah tingkat atas, di mana di sana aku tinggal bersama bude, aku kembali ke kampung. Bude menawarkanku untuk melanjutkan kuliah ke Jakarta. Tapi, tiga tahun bersekolah, aku kehilangan suaramu. Aku tidak mendapatkan hujan bertemankan peuyeum buatan orangtuamu itu di kota. Aku selalu bertanya pada teman-teman ihwal dirimu lewat surat. Tentu kau juga masih ingat surat yang kukirim dulu. Meski aku yakin yang membacanya bukan kau karena tercatat kau hanya bisa menghitung. Tapi, itu cukup menjadi bukti bahwa aku menyukaimu, Euis. Hingga pada akhirnya kedua orangtuaku naik pitam, pada saat aku ucapkan niat baikku tuk melamarmu. Ibu bersikeras agar aku kuliah di Jakarta sebagaimana yang budeku pernah sarankan. Begitu juga bapak yang tidak setuju aku beristrikan selain dari keturunan Gajah Mada.
Lagi-lagi, hujan selalu jadi saksi dalam hidupku. Menjadi teman dalam keganaranku. Begitu juga dalam sukacitaku. Maafkan aku, ibu, bila dulu aku harus pergi tanpa pamit. Membuat bapak dan ibu, juga semua kerabat, kelimpungan mencariku. Bagiku, sosok yang menyadarkanku akan berartinya hujan padaku itu, sangatlah berarti. Bukan berarti bapak dan ibu tidak lebih berarti. Namun, aku manusia yang buta. Yang meraba-raba mencari arti, apa itu cinta.
Dan kau, Euis, seandainya hujan tidak turun malam itu, mungkin kita tidak menginjak kota itu. Tuhan dengan hujanNya memudahkan kita pergi. Ah, tentu masih kau ingat betapa lebatnya hujan malam itu. Dengan begitu, aku sangat leluasa keluar rumah pada saat semua terlelap dalam balutan selimut. Karena derasnya, tidak sedikut pun suara langkah kaki, atau pun rengekan engsel pintu-pintu yang kubuka terdengar oleh mereka. Dan kau, sudah menanti di ujung jalan. Ah, kita memang remaja-remaja yang nakal ya?
Sedari hari itu, aku menjadi lebih berani. Tanpa sepengetahuan ibu, aku sering keluar rumah hanya untuk bertemu denganmu. Kau paham betul, sedari kecil, aku hanya dibolehkan keluar bersama kerabat-kerabatku itu. Satu-satunya waktu agak lama ketika belajar mengaji di musala Mbah Darmo. Termasuk pada hari itu, pada hari ketika aku seret kau tuk menikmati turunnya hujan. Sewaktu pulang, di mana tampak kau sedang berteduh di warung Mbok Minah sehabis berkeliling menjual peuyeum.
Ada yang berbeda dulu ketika aku bicara tentangmu kepada ibu. Wajah ibu yang selalu semringah itu mendadak ditekuk bila mendengar namamu dari bibirku. Aku tak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Yang kutahu, ibu dan bapak adalah orang, yang bila bertemu dengan warga di kampung itu, mereka warga kampung selalu membungkukkan badan. Dan rasanya, aku tidak pernah mendengar panggilan “Raden, atau Den” terucap dari bibir orang kampung itu kepada orang lain, kecuali bapak dan ibu. Bapak dan ibu sosok penyayang pada sesama. Tak terhitung berapa kali ia membantu orang-orang miskin di kampungku itu. Tapi, aku heran, lagi-lagi ketika aku bicara tentang keluargamu padanya, atau sekadar memperbincangkan masalah peuyeum atau tape, mereka menjadi tak berminat. Bahkan, lambat laun, aku dilarang menyebut makanan itu dengan sebutan peuyeum. “Kita orang Jawa, Le, nyebutnya tape, ojo peuyeum, ngerti kowe?” Begitulah kata ibu.
***
SETELAH lulusnya aku dari sekolah tingkat atas, di mana di sana aku tinggal bersama bude, aku kembali ke kampung. Bude menawarkanku untuk melanjutkan kuliah ke Jakarta. Tapi, tiga tahun bersekolah, aku kehilangan suaramu. Aku tidak mendapatkan hujan bertemankan peuyeum buatan orangtuamu itu di kota. Aku selalu bertanya pada teman-teman ihwal dirimu lewat surat. Tentu kau juga masih ingat surat yang kukirim dulu. Meski aku yakin yang membacanya bukan kau karena tercatat kau hanya bisa menghitung. Tapi, itu cukup menjadi bukti bahwa aku menyukaimu, Euis. Hingga pada akhirnya kedua orangtuaku naik pitam, pada saat aku ucapkan niat baikku tuk melamarmu. Ibu bersikeras agar aku kuliah di Jakarta sebagaimana yang budeku pernah sarankan. Begitu juga bapak yang tidak setuju aku beristrikan selain dari keturunan Gajah Mada.
Lagi-lagi, hujan selalu jadi saksi dalam hidupku. Menjadi teman dalam keganaranku. Begitu juga dalam sukacitaku. Maafkan aku, ibu, bila dulu aku harus pergi tanpa pamit. Membuat bapak dan ibu, juga semua kerabat, kelimpungan mencariku. Bagiku, sosok yang menyadarkanku akan berartinya hujan padaku itu, sangatlah berarti. Bukan berarti bapak dan ibu tidak lebih berarti. Namun, aku manusia yang buta. Yang meraba-raba mencari arti, apa itu cinta.
Dan kau, Euis, seandainya hujan tidak turun malam itu, mungkin kita tidak menginjak kota itu. Tuhan dengan hujanNya memudahkan kita pergi. Ah, tentu masih kau ingat betapa lebatnya hujan malam itu. Dengan begitu, aku sangat leluasa keluar rumah pada saat semua terlelap dalam balutan selimut. Karena derasnya, tidak sedikut pun suara langkah kaki, atau pun rengekan engsel pintu-pintu yang kubuka terdengar oleh mereka. Dan kau, sudah menanti di ujung jalan. Ah, kita memang remaja-remaja yang nakal ya?
***
Tapi, itu hanya sekejap, Euis. Entah karena apa secepat itu kita berpisah. Apa karena kutukan ibu, kutukan Gajah Mada, atau memang suratan takdir? Yang pasti, hari itu, aku kehilanganmu. Kehilangan sosok yang mengenalkan aku kepada hujan, kepada peuyeum, juga kepada cinta. Aku menangis dalam hujan kala itu. Namun, tetap saja orang-orang paham aku sedang bersedih. Hujan juga yang mengantarkan kau bersatu dengan tanah. Perih jika harus mengenangnya, termasuk sore ini. Namun, lagi-lagi, petrichor selalu mengingatkan aku padamu. Juga pada kebodohanku yang membiarkanmu melangkahkan kaki ke warung kala hujan turun. Yang kutahu, kau sudah tertelungkup tak bernapas. Terpeleset di licinnya jalan. Kepalamu membentur sebuah batu. Darah segar mengalir dari telinga, juga hidungmu. Jalanan itu menjadi merah karenanya. Aku menyesal sekali, Euis. Tak kusangka secepat itu kau pergi. Tak pernah terlintas sedetik pun jika sedari itu aku harus sendiri. Tanpamu.
Namun, setidaknya kita pernah bersatu, Euis. Kita pernah menjadi remaja-remaja yang nakal itu. Remaja yang menantang segala bentuk diskriminasi. Yang mungkin tidak banyak tahu bahwa kita adalah pahlawan mereka-mereka yang kini bisa dengan nyaman melakukannya. Bukankah di negeri ini pahlawan itu banyak yang tidak dikenal, Euis? Kitalah salah satunya.
Dan, lihatlah kini, Euis. Situasi menjadi lebih baik. Ada kedua orang tua mereka di sana. Tak perlu wali hakim kala menikah. Tak perlu mengubah peuyeum dengan sebutan tape. Begitupun sebaliknya, tak perlu mengubah tape menjadi peuyeum. Jasa kitakah semua itu, Euis?
Namun, semenjak kau pergi selamanya, aku merasa kesepian di Surabaya itu, Euis. Terlebih kemarau lagi-lagi melanda. Satu-satunya yang dapat mendekatkan aku dengan kau adalah basah. Hanyalah lembek lempung. Maka setelah tiga bulan sepeninggalmu, kuputuskan secepatnya hijrah ke tempat ini. Satu-satunya daerah di negeri ini yang akrab dengan hujan. Meski nanti malam, genap usiaku enam puluh, dan orang-orang bilang aku gila, karena setua ini suka bermandi hujan sendirian. Mereka bilang aku stress karena seuzur ini aku suka bermain lempung di halaman rumah. Juga mereka bilang aku impotensi, homo, atau apalah itu, karena sedari kau tinggalkanku dulu, tak pernah satu pun wanita memasuki gubukku. Namun, cukuplah hujan jadi teman, juga sosok yang membelaku. Terlebih bila tercipta bianglala setelahnya. Jika pun tidak, aku akan melukiskan bianglala itu lewat imaji. Dari atasnya, perlahan turun seorang bidadari jelita. Bidadari itu engkau, Euis. Tak perlu kukatakan kepada mereka bahwa aku pernah punya wanita secantik kau, Euis. Wanita yang juga satu klan dengan orang-orang di tempat ini. ***
Cibiru, 18/11/2014
Cibiru, 18/11/2014
Note :
Petrichor, leburan air dan tanah yang kering seakan semerbak harum mewangi ketika hujan turun.
Khutuk, ikan gabus.
Petrichor, leburan air dan tanah yang kering seakan semerbak harum mewangi ketika hujan turun.
Khutuk, ikan gabus.
Karya : Anggi Nugraha*
Rujukan :
- Disalin dari file Anggi Nugraha
- Pernah tersiar di Koran harian Pikiran Rakyat, 17/1/2016
*Anggi Nugraha, lahir di desa bernama Batumarta, Kabupaten OKU, Sum-Sel. Mahasiswa tingkat akhir jurusan Sastra Inggris UIN SGD Bandung. Belajar menulis kreatif dari penyair Bunyamin Fasya, dan Pungkit Wijaya.
:::Terimakasih atas kiriman tulisannya. Bagi Anda yang berminat agar tulisannya dimuat di blog sederhana ini, sila kirim file ke surel galangsmansa@gmail.com (MgP):::