AWALNYA MEMANG penyair menulis puisi bukan untuk dibacakan di depan umum. Melainkan untuk dibaca dalam hati agar maknanya dapat diserap dan direnung oleh pembaca. Tradisi pelisanan puisi di depan umumlah yang mengembangkan situasi itu sehingga dikenal pula cara-cara sosialisasi lain, yaitu pembacaan puisi atau “poetry reading”.
Tradisi tersebut sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yakni sejak tradisi kelisanan. Para pujangga membacakan karyanya di depan sidang para raja yang malas membaca. Namun baru dikenal secara luas sejak tahun 1966. Pada era tersebut tumbuh gerakan sastra bernama “Angkatan 66”. Para penyair dan juga seniman-seniman lainnya tidak mau tinggal diam hanya sekadar mencatat peristiwa-peristiwa pergolakan yang terjadi di masa itu.
Mereka perlu meletupkannya sebagai bentuk perlawanan. Mereka menggunakan sastra sebagai salah satu alat melawan tirani kekuasaan. Maka tercatatlah para penyair muda yang memiliki elan vital seperti Taufik Ismail, Abdul Wahid Situmeang, Mansur Samin dan lain-lain yang sering membacakan puisinya di depan para demonstran, menyuntikkan semangat perlawanan terhadap kekuasaan orde baru yang tiran.
Dan sekembali dari Amerika pada tahun 1967, penyair muda berbakat WS. Rendra yang dikenal dengan julukan “si Burung Merak”, telah mengemas dan menjadikan pembacaan puisi sebagai tontonan yang menarik publik dan mendapat apresiasi yang luas di tengah masyarakat. Dari pembacaan puisi WS. Renda kritik sosial berlompatan.
Mereka perlu meletupkannya sebagai bentuk perlawanan. Mereka menggunakan sastra sebagai salah satu alat melawan tirani kekuasaan. Maka tercatatlah para penyair muda yang memiliki elan vital seperti Taufik Ismail, Abdul Wahid Situmeang, Mansur Samin dan lain-lain yang sering membacakan puisinya di depan para demonstran, menyuntikkan semangat perlawanan terhadap kekuasaan orde baru yang tiran.
Dan sekembali dari Amerika pada tahun 1967, penyair muda berbakat WS. Rendra yang dikenal dengan julukan “si Burung Merak”, telah mengemas dan menjadikan pembacaan puisi sebagai tontonan yang menarik publik dan mendapat apresiasi yang luas di tengah masyarakat. Dari pembacaan puisi WS. Renda kritik sosial berlompatan.
Pembacaan puisi ala WS. Rendra ini lama menjadi model pembacaan pusi di Indonesia. “Poetry Reading”, demikian istilah populernya, kemudian menjadi salah satu bagian dari lomba-lomba siswa di sekolah menengah sampai ke perguruan tinggi, menggeser istilah “Bersanjak” (Deklamasi) yang dulu kita kenal menghafal puisi di panggung dengan gerakan kaku. Perbedaan antara model “Baca Puisi” (Poetry Reading) ini dengan “Bersanjak” (Deklamasi) memang tidak saja terletak pada karakter performan-nya, tapi juga pada materi.
Poetry Reading dilakukan dengan membaca puisi sambil membawa naskah puisi yang dibacanya, walaupun naskahnya sudah dihapal luar kepala, sedangkan “Bersanjak” (Deklamasi) tidak membawa naskah puisi, karena itu naskahnya harus dihafal sebelumnya. Di samping itu, ada kesan pembacaan “Sanjak” harus dilakukan dengan gerakan-gerakan “resmi” yang sangat kaku dan tidak memiliki kebebasan bergerak, sedangkan pada pembacaan puisi gerakan, ekspresi dan mimik adalah milik pembaca yang bebas untuk digunakan sesuai dengan karakter dan tuntutan puisi yang dibaca. Karena itu pembacaan puisi biasanya lebih kreatif dan variatif.
Poetry Reading dilakukan dengan membaca puisi sambil membawa naskah puisi yang dibacanya, walaupun naskahnya sudah dihapal luar kepala, sedangkan “Bersanjak” (Deklamasi) tidak membawa naskah puisi, karena itu naskahnya harus dihafal sebelumnya. Di samping itu, ada kesan pembacaan “Sanjak” harus dilakukan dengan gerakan-gerakan “resmi” yang sangat kaku dan tidak memiliki kebebasan bergerak, sedangkan pada pembacaan puisi gerakan, ekspresi dan mimik adalah milik pembaca yang bebas untuk digunakan sesuai dengan karakter dan tuntutan puisi yang dibaca. Karena itu pembacaan puisi biasanya lebih kreatif dan variatif.
Munculnya pembaca-pembaca puisi kreatif, seperti Sutardji Calzoun Bachri yang membawa kekuatan magic dengan “kemabukannya” di panggung menciptakan kontroversi pembacaan puisi di Indonesia. Demikian kreatif Sutardji bukan hanya puisi-puisinya yang dinilai inkonvensional itu, tapi juga cara membaca puisinya di depan publik. Ia membaca puisinya sambil menenggak bir dan menjadi mabuk. Pada sebagian orang ia memberi kesan dilematis: puisi yang dianggap sebagai wacana ‘agung’ itu disampaikan dengan cara ‘nista’ (mabuk-mabukan).
Sebagian lagi mengapresiasi kemabukan Sutardji sebagai sarana untuk mencapai kondisi ‘intance’, yang menyatukan dirinya dengan puisi mantra-nya, sebagaimana konon para darwis yang yang mengekspresikan keimanannya melalui tarian kemabukan diiringi musik Parsi dan lirik-lirik puisi Rumi.
Kemunculan pembaca-pembaca puisi lain yang tak kalah kreatif seperti Sosiawan Leak, Jose Rizal Manua, Iman Soleh, Amin Kamil, Godi Suwarna, Samar Gantang dan Asrizal Nur telah menjadikan pembacaan puisi sebagai media seni teatrikal. Bahkan Asrizal Nur telah membawa pembacaan puisi ke tingkat tinggi melalui pentas pembacaan puisi multimedia-nya yang
dihajat di berbagai kota besar bahkan sampai ke luar negeri.
Model pembacaan puisi pun sudah jauh melampaui atmosfir pemikiran penyair yang awalnya mencipta puisi dengan tujuan yang sangat sederhana; sekadar untuk dibaca dan direnungi oleh orang lain. Puisi di tangan pembaca kreatif telah menjelma menjadi tontonan yang menarik seperti halnya pertunjukan seni-seni performance lainya.
dihajat di berbagai kota besar bahkan sampai ke luar negeri.
Model pembacaan puisi pun sudah jauh melampaui atmosfir pemikiran penyair yang awalnya mencipta puisi dengan tujuan yang sangat sederhana; sekadar untuk dibaca dan direnungi oleh orang lain. Puisi di tangan pembaca kreatif telah menjelma menjadi tontonan yang menarik seperti halnya pertunjukan seni-seni performance lainya.
Karena tuntutan pembacaan puisi secara teaterikal ini maka penyair atau mereka yang menganggap diri sebagai penyair pun melihat kesempatan tersebut sebagai sarana lain dalam menyosialisasi puisi yang efektif di luar sarana konvensional yang biasa digunakan seperti surat kabar, majalah dan buku antologi puisi. Di sana --pada pentas pembacaan puisi itu, puisi akan muncul dengan kekuatan yang didukung oleh efek-efek pembacaan dan propertis lainnya sehingga puisi hadir sebagai sebuah tontonan spektakuler.
Jenis puisi epik seperti balada, puisi-puisi prosais (prosa-puisi atau puisi-prosa) yang bercerita, dan belakangan muncul pula genre puisi lain bernama “puisi-esai” (?) yang menjadi kontroversial dengan kehadirannya, menjadi genre puisi yang cocok untuk dibaca secara teaterikal di panggung. Paket Pembacan puisi seperti “Saputangan Fan Ying” karya Denny JA yang diteaterikalkan oleh Putu Wijaya, konon menarik juga untuk diapresiasi.
Meskipun sesungguhnya semua jenis puisi dapat dibaca di panggung, namun dengan munculnya kreasi-kreasi pembacaan puisi seperti poetry reading, teaterikalisasi puisi, pembacaan puisi multimedia, musikalisasi puisi, yang pada umumnya mementingkan komunikasi verbal maka puisi-puisi yang memiliki karakter verbalistislah yang lebih diutamakan. Dengan begitu dilihat dari segi kepentingan pembacaan puisi ini maka puisi pun dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu “Puisi Panggung” dan “Puisi Kamar”.
“Puisi panggung” adalah puisi yang memiliki karakter verbalistik seperti puisi-puisi epik, puisi-prosa/prosa-puisi dan puisi-esai, sedang “puisi kamar” pada umumnya adalah puisi-puisi platonik, puisi-puisi lirik yang mengandung makna tersirat dan membutuhkan suasana “kamar” yang tenang untuk merenungi maknanya.(*)
“Puisi panggung” adalah puisi yang memiliki karakter verbalistik seperti puisi-puisi epik, puisi-prosa/prosa-puisi dan puisi-esai, sedang “puisi kamar” pada umumnya adalah puisi-puisi platonik, puisi-puisi lirik yang mengandung makna tersirat dan membutuhkan suasana “kamar” yang tenang untuk merenungi maknanya.(*)
Barru, Januari 2016
Karya : Badaruddin Amir
Rujukan:
- Disalin dari file Badaruddin Amir
- Pernah tersiar di Koran "Fajar" Makassar, 28 Februari 2016