Telah memasuki lima hari. Kantongan plastik berisi sisa-sisa makanan itu ikut bertambah. Menumpuk di depan pagar. Satu dari kantongan sampah itu telah bolong tersebab tikus got yang mengorek-ngorek. Tukang sampah belum juga mengambil lima kantong hitam itu. Alhasil, bau busuknya yang menyengat membuat ibu-ibu kompleks tak lagi berkumpul riang. Yang ada di mulut mereka ialah keluhan mengapa tukang sampah tak kunjung datang.
Awalnya, Pak Mus selaku Pak RT mengira kalau tukang sampah lupa. Namun, hari kedua, kerisauan melanda Bapak yang telah bermata empat itu. Ada yang tidak beres. Tak mungkin kelupaan sampai berhari-hari. Setiap selesai salat, beberapa jamaah tak segan-segan komplain mengenai sampah yang tak kunjung diangkut.
"Pak Mus, seharusnya bapak mencari tahu apa sebab sampah kami belum dibersihkan. Baunya itu sudah La ilaha Illallah, Pak Mus."
"Pak Mus, bagaimana ini sampahku? Gara-gara banyak sampah, pembeli cotoku lari napakamma."
“Got depan rumahku bisa saja tersumbat kalau hujan, Pak Mus.”
Biasanya, Pak Mus menjawab seadanya. Sambil berharap ada titik terang mengapa truk sampah belum juga datang.
Pak Mus ialah orang yang disegani di kompleksnya. Ia terpilih bukan karena hartanya yang banyak. Tapi, kerendahan hatinya membuat orang-orang senang. Sekali melihatnya, maka teringatlah sosok Abraham Lincoln.
Senyum, sapa, dan salam tak pernah ia lewatkan kala bertemu dengan remaja yang bermain bola. Ataupun ibu-ibu yang sedang menyapu. Sesekali malah, ia menawarkan diri untuk membantu. Bukan karena ingin puji-pujian, tapi keikhlasan hati untuk terus berbuat baik yang membuatnya demikian.
Pak Mus juga teladan yang patut ditiru. Kebiasaannya bertindak lebih awal, membuat orang di sekitarnya tertular virus ‘lebih cepat lebih baik’. Seperti slogan Jusuf Kalla dan Wiranto. Jika ada mangga jatuh yang telah dimakan kelelawar, maka cepat-cepat ia membuangnya. Jika ada orang yang pulang dari kampung dengan barang bertumpuk-tumpuk, maka segera ia mengangkatnya hingga tak lagi tersisa.
Maka tak ada alasan, ketika pemilihan ketua RT, ramai orang menunjuk Pak Mus.
“Jangan saya lah, Pak. Masih banyak orang lain yang lebih patut dari saya,” kata Pak Mus.
“Tidak, Pak Mus. Bapak orang yang layak untuk memimpin kompleks kami. Kami sudah melihat perilaku Bapak yang sangat baik terhadap orang-orang di kompleks kami.”
Pak Mus tahu kalau jadi pemimpin itu sungguh berat. Namun, bujukan dan rayuan terus ditiupkan. Alhasil, tak ada jalan lain. Pak Mus mengiyakan seraya memohon pertolongan Tuhan dan kerja sama dari rekan kompleks.
“Amanah atau tanggung jawab bukanlah hal mudah. Tapi, jika kita kerja bersama-sama, maka insyaAllah, pasti bisa.”
Selama periode Pak Mus, belum sekalipun ia menerima keluhan yang berat. Maka untuk pertama kalinya, sampah warga betul-betul memusingkan Pak Mus. Jika dahulu orang-orang mengeluh tentang pencurian atau begal, maka sekarang, masyarakat lebih dipusingkan oleh sampah.
Sepekan berlalu, Pak Mus mengumumkan mengapa truk sampah belum mengangkut sampah warga. Dalam pengumumannya ia menyampaikan bahwa banyak sampah belum diangkut karena banyak juru angkut sampah mogok kerja. Uang bensin dan makan belum juga dibayarkan.
Pak Mus juga menyampaikan, keresahan warga akibat sampah juga dialami kompleks lain. Bahkan Pak Walikota pun merasakan hal yang sama. Apalagi, baru-baru ini Makassar dianugerahi Piala Adipura. Lengkaplah sudah. Makassar resah.
Meski begitu, pengumuman bukanlah solusi. Warga tidak ingin mendengar celoteh. Warga ingin agar sampahnya diangkut secepat mungkin.
“Jadi bagaimana sampahku, Pak Mus?”
“Akan saya usahakan. Saya akan mengontak truk sampah lain.”
“Kapan itu, Pak Mus?”
“Sebentar malam. Harap bapak dan ibu bersabar sedikit saja.”
Pak Mus kali ini berbuat bodoh. Sebab, tak pernah ada rencana seperti yang ia ucapkan. Itu semua hanyalah aksi tipu-tipu agar meredam keresahan warga. Pak Mus baru saja membohongi warganya. Apa yang diucapkannya berbeda dengan apa yang ada di hatinya.
Ayam berkokok dengan bahagia pagi itu. Sama bahagianya dengan warga kompleks. Ajaib. Seolah ada yang baru saja menyulap semua sampah di kompleks. Sampahnya hilang. Semua sudah tidak ada.
“Tidak usah peduli, Bu Ratna. Yang jelas, kita harus berterima kasih pada Pak Mus. Kemarin kan dia bilang kalau akan berusaha agar sampah di permukiman kita hilang,” kata Bu Eki. Dua orang kompleks yang rumahnya di sudut itu berbincang. Bu Ratna dan Bu Eki memanggil warga lain yang juga kegirangan.
Ramai-ramailah mereka ke rumah Pak Mus membawa senyuman. Namun, belum sampai di depan pintu rumah Pak Mus, ada bau busuk yang menusuk hidung mereka. Sangat bau hingga mereka enggan masuk.
Awalnya, Pak Mus selaku Pak RT mengira kalau tukang sampah lupa. Namun, hari kedua, kerisauan melanda Bapak yang telah bermata empat itu. Ada yang tidak beres. Tak mungkin kelupaan sampai berhari-hari. Setiap selesai salat, beberapa jamaah tak segan-segan komplain mengenai sampah yang tak kunjung diangkut.
"Pak Mus, seharusnya bapak mencari tahu apa sebab sampah kami belum dibersihkan. Baunya itu sudah La ilaha Illallah, Pak Mus."
"Pak Mus, bagaimana ini sampahku? Gara-gara banyak sampah, pembeli cotoku lari napakamma."
“Got depan rumahku bisa saja tersumbat kalau hujan, Pak Mus.”
Biasanya, Pak Mus menjawab seadanya. Sambil berharap ada titik terang mengapa truk sampah belum juga datang.
Pak Mus ialah orang yang disegani di kompleksnya. Ia terpilih bukan karena hartanya yang banyak. Tapi, kerendahan hatinya membuat orang-orang senang. Sekali melihatnya, maka teringatlah sosok Abraham Lincoln.
Senyum, sapa, dan salam tak pernah ia lewatkan kala bertemu dengan remaja yang bermain bola. Ataupun ibu-ibu yang sedang menyapu. Sesekali malah, ia menawarkan diri untuk membantu. Bukan karena ingin puji-pujian, tapi keikhlasan hati untuk terus berbuat baik yang membuatnya demikian.
Pak Mus juga teladan yang patut ditiru. Kebiasaannya bertindak lebih awal, membuat orang di sekitarnya tertular virus ‘lebih cepat lebih baik’. Seperti slogan Jusuf Kalla dan Wiranto. Jika ada mangga jatuh yang telah dimakan kelelawar, maka cepat-cepat ia membuangnya. Jika ada orang yang pulang dari kampung dengan barang bertumpuk-tumpuk, maka segera ia mengangkatnya hingga tak lagi tersisa.
Maka tak ada alasan, ketika pemilihan ketua RT, ramai orang menunjuk Pak Mus.
“Jangan saya lah, Pak. Masih banyak orang lain yang lebih patut dari saya,” kata Pak Mus.
“Tidak, Pak Mus. Bapak orang yang layak untuk memimpin kompleks kami. Kami sudah melihat perilaku Bapak yang sangat baik terhadap orang-orang di kompleks kami.”
Pak Mus tahu kalau jadi pemimpin itu sungguh berat. Namun, bujukan dan rayuan terus ditiupkan. Alhasil, tak ada jalan lain. Pak Mus mengiyakan seraya memohon pertolongan Tuhan dan kerja sama dari rekan kompleks.
“Amanah atau tanggung jawab bukanlah hal mudah. Tapi, jika kita kerja bersama-sama, maka insyaAllah, pasti bisa.”
Selama periode Pak Mus, belum sekalipun ia menerima keluhan yang berat. Maka untuk pertama kalinya, sampah warga betul-betul memusingkan Pak Mus. Jika dahulu orang-orang mengeluh tentang pencurian atau begal, maka sekarang, masyarakat lebih dipusingkan oleh sampah.
Sepekan berlalu, Pak Mus mengumumkan mengapa truk sampah belum mengangkut sampah warga. Dalam pengumumannya ia menyampaikan bahwa banyak sampah belum diangkut karena banyak juru angkut sampah mogok kerja. Uang bensin dan makan belum juga dibayarkan.
Pak Mus juga menyampaikan, keresahan warga akibat sampah juga dialami kompleks lain. Bahkan Pak Walikota pun merasakan hal yang sama. Apalagi, baru-baru ini Makassar dianugerahi Piala Adipura. Lengkaplah sudah. Makassar resah.
Meski begitu, pengumuman bukanlah solusi. Warga tidak ingin mendengar celoteh. Warga ingin agar sampahnya diangkut secepat mungkin.
“Jadi bagaimana sampahku, Pak Mus?”
“Akan saya usahakan. Saya akan mengontak truk sampah lain.”
“Kapan itu, Pak Mus?”
“Sebentar malam. Harap bapak dan ibu bersabar sedikit saja.”
Pak Mus kali ini berbuat bodoh. Sebab, tak pernah ada rencana seperti yang ia ucapkan. Itu semua hanyalah aksi tipu-tipu agar meredam keresahan warga. Pak Mus baru saja membohongi warganya. Apa yang diucapkannya berbeda dengan apa yang ada di hatinya.
Ayam berkokok dengan bahagia pagi itu. Sama bahagianya dengan warga kompleks. Ajaib. Seolah ada yang baru saja menyulap semua sampah di kompleks. Sampahnya hilang. Semua sudah tidak ada.
“Tidak usah peduli, Bu Ratna. Yang jelas, kita harus berterima kasih pada Pak Mus. Kemarin kan dia bilang kalau akan berusaha agar sampah di permukiman kita hilang,” kata Bu Eki. Dua orang kompleks yang rumahnya di sudut itu berbincang. Bu Ratna dan Bu Eki memanggil warga lain yang juga kegirangan.
Ramai-ramailah mereka ke rumah Pak Mus membawa senyuman. Namun, belum sampai di depan pintu rumah Pak Mus, ada bau busuk yang menusuk hidung mereka. Sangat bau hingga mereka enggan masuk.
Karya: Muhammad Hidayat
Rujukan:
- Disalin dari file Muhammad Hidayat
- Pernah tersiar di koran "Fajar" Makassar, Minggu 17 Januari 2015