PADA SEBUAH sempat, saya memasang foto kamar saya yang berantakan karena sedang dicat di BlackBerry Messenger (BBM). Saya memberi keterangan (status) pada foto tersebut, “kamar ini sepertinya butuh sentuhan perempuan.” Saya juga menambahkan dua emoticon tertawa.
Seorang teman BBM saya mengomentarinya, “Halalkan cepat perempuanmu.” Saya hanya mengirimkan emotion senyum kepadanya. Ia membalasnya, “kenapa senyum?” Saya memutuskan mendiamkannya beberapa saat. Saya kembali sibuk mengecat kamar saya. Rasa capek setelah beraktivitas seharian membuat saya ingin cepat mengusaikannya lalu tidur.
Saat membenahi kamar, saya terusik dengan saran teman saya itu. Ia tinggal di luar Sulawesi Selatan (Sulsel) tepatnya di Denpasar, Bali. (Jangan tanyakan kenapa saya bisa dapat pin BBMnya, sebab saya juga tidak tahu). Aktivitas mengecat kamar saya hentikan. Saya kemudian mencuci tangan. Membiarkan aroma cat memenuhi kamar saya, membiarkan peralatan yang saya gunakan berserakan. Saya membaringkan tubuh kurus saya. Rasa capek menyergapnya.
“Sedang mencari perempuan yang akan dihalalkan,” balas saya kemudian sambil berbaring.
“Kan banyak tuh perempuan di kampung kamu, masa’ tidak ada yang mau?” balasnya lagi.
“Mencari perempuan Bugis-Makassar tidak hanya mencari perempuan yang akan menjadi pendamping hidup, tapi juga harus mencari sejumlah uang untuk menghalalkannya berupa uang panai, ” balas saya.
“Saya tak mengerti,” balasnya.
“Tidak mudah menghalalkan perempuan Bugis-Makassar,” balas saya lagi. Lalu percakapan (chat) kami berlanjut, diskusi ringan jarak jauh. Teman saya itu menawarkan diri menjadi perempuan Bugis-Makassar. Dia ingin seberuntung perempuan Bugis-Makassar yang dihormati oleh lelaki dalam bentuk uang panai’ yang jumlahnya bisa menyentuh angka ratusan juta rupiah. Dan saya ingin menjadi lelaki Denpasar, yang “mungkin” jika ingin menghalalkan perempuannya tidak serumit dalam masyarakat saya.
Saya mencoba pahami perasaan teman saya itu, sebagai perempuan tentu dia ingin memiliki lelaki yang rela membuktikan cintanya dalam bentuk yang lebih besar. Ingin diperlakukan istimewa dan dihargai. Uangpanai’ bukanlah sebuah upaya untuk membeli perempuan dari keluarganya. Bukan pula sekadar untuk membiayai pesta pihak perempuan. Tapi uang panai adalah salah satu bukti mengistimewakan dan menghargai perempuan.
Uang panai adalah upaya pembuktian cinta yang besar. Tidak sedikit lelaki yang rela mengorbankan apa saja demi menghalalkan perempuan yang dicintainya untuk diikat dalam ijab Kabul. Jika cinta sejati adalah pembuktian, adalah pernikahan. Maka lelaki yang menikahi perempuan Bugis-Makassar dengan alur adat yang seharusnya adalah pejuang cinta sejati sesungguhnya.
Uang panai menjadi fenomena tersendiri. Banyak dibincangkan, bahkan menjadi lelucon. Seorang teman pernah bergurau bahwa investasi paling baik dan menjanjikan sekarang ini adalah tanah, rumah dan anak perempuan. Gurauan tersebut saya hanya tanggapi dengan tertawa, tapi memiliki anak perempuan sebagai sebuah investasi orang tua dalam masyarakat Bugis-Makassar juga ada benarnya. Meski menjaga satu anak perempuan, kata sebagian orang lebih sulit daripada menjaga puluhan kerbau.
Chat kami terus berlanjut malam itu. Berkali-kali teman BBM saya tersebut meng
ungkapkan kekagumannya terhadap budaya Bugis-Makassar yang sangat menghormati perempuan-- yang dibuktikan dengan uang panai. Sebuah bukti kerelaan dan tanggung jawab dari calon suami. Saya katakan kepadanya bahwa keberadaan uang panaibukan tanpa cacat. Tidak sedikit pasangan kekasih rela mengubur impiannya membina rumah tangga karena ketidakcocokan uang panai. Banyak rela silariang (kawin lari) menantang maut, melupakan malampaccing, melupakan suara gendang Makassar, dan meninggalkan kampung halamamnya hanya karena uang panai’.
Perempuan adalah salah satu sumber sirik paling besar dalam masyarakat Bugis-Makassar. Tidak sedikit terjadi pertumpahan darah hanya gara-gara perempuan. Misalnya dalam kasus silariang, pihak perempuanlah yang paling terkena dampak siri’ yang disebut tomasiri (orang yang dipermalukan). Dalam hal silariang, seorang lelaki bisa dengan leluasa bertemu keluarganya, bahkan tinggal di rumah keluarganya selama silariang, sementara pihak perempuan tidak bisa melakukan hal tersebut.
Seorang lelaki yang menikahi perempuan Bugis-Makassar dengan alur yang semestinya. Haruslah berbangga diri, karena telah membuktikan satu bukti cinta yang besar. Saya yakin, pihak perempuan tahu bagaimana susahnya pihak lelaki mencari uang panai demi dirinya, demi cinta mereka. Maka sudah seharusnya uang panai menjadi tameng untuk mengawetkan kehidupan berumah tangga.
Percakapan kami via BBM terus mengalir hingga malam jatuh pada titik larutnya yang sepi. Saya melupakan rasa capek karena seharian beraktivitas. Sebelum kami mengakhir chat malam itu karena dikalahkan kantuk. Teman saya tersebut tetap menunjukkan kengototannya ingin menjadi perempuan Bugis-Makassar.
Rumah kekasih, 2015
Seorang teman BBM saya mengomentarinya, “Halalkan cepat perempuanmu.” Saya hanya mengirimkan emotion senyum kepadanya. Ia membalasnya, “kenapa senyum?” Saya memutuskan mendiamkannya beberapa saat. Saya kembali sibuk mengecat kamar saya. Rasa capek setelah beraktivitas seharian membuat saya ingin cepat mengusaikannya lalu tidur.
Saat membenahi kamar, saya terusik dengan saran teman saya itu. Ia tinggal di luar Sulawesi Selatan (Sulsel) tepatnya di Denpasar, Bali. (Jangan tanyakan kenapa saya bisa dapat pin BBMnya, sebab saya juga tidak tahu). Aktivitas mengecat kamar saya hentikan. Saya kemudian mencuci tangan. Membiarkan aroma cat memenuhi kamar saya, membiarkan peralatan yang saya gunakan berserakan. Saya membaringkan tubuh kurus saya. Rasa capek menyergapnya.
“Sedang mencari perempuan yang akan dihalalkan,” balas saya kemudian sambil berbaring.
“Kan banyak tuh perempuan di kampung kamu, masa’ tidak ada yang mau?” balasnya lagi.
“Mencari perempuan Bugis-Makassar tidak hanya mencari perempuan yang akan menjadi pendamping hidup, tapi juga harus mencari sejumlah uang untuk menghalalkannya berupa uang panai, ” balas saya.
“Saya tak mengerti,” balasnya.
“Tidak mudah menghalalkan perempuan Bugis-Makassar,” balas saya lagi. Lalu percakapan (chat) kami berlanjut, diskusi ringan jarak jauh. Teman saya itu menawarkan diri menjadi perempuan Bugis-Makassar. Dia ingin seberuntung perempuan Bugis-Makassar yang dihormati oleh lelaki dalam bentuk uang panai’ yang jumlahnya bisa menyentuh angka ratusan juta rupiah. Dan saya ingin menjadi lelaki Denpasar, yang “mungkin” jika ingin menghalalkan perempuannya tidak serumit dalam masyarakat saya.
Saya mencoba pahami perasaan teman saya itu, sebagai perempuan tentu dia ingin memiliki lelaki yang rela membuktikan cintanya dalam bentuk yang lebih besar. Ingin diperlakukan istimewa dan dihargai. Uangpanai’ bukanlah sebuah upaya untuk membeli perempuan dari keluarganya. Bukan pula sekadar untuk membiayai pesta pihak perempuan. Tapi uang panai adalah salah satu bukti mengistimewakan dan menghargai perempuan.
Uang panai adalah upaya pembuktian cinta yang besar. Tidak sedikit lelaki yang rela mengorbankan apa saja demi menghalalkan perempuan yang dicintainya untuk diikat dalam ijab Kabul. Jika cinta sejati adalah pembuktian, adalah pernikahan. Maka lelaki yang menikahi perempuan Bugis-Makassar dengan alur adat yang seharusnya adalah pejuang cinta sejati sesungguhnya.
Uang panai menjadi fenomena tersendiri. Banyak dibincangkan, bahkan menjadi lelucon. Seorang teman pernah bergurau bahwa investasi paling baik dan menjanjikan sekarang ini adalah tanah, rumah dan anak perempuan. Gurauan tersebut saya hanya tanggapi dengan tertawa, tapi memiliki anak perempuan sebagai sebuah investasi orang tua dalam masyarakat Bugis-Makassar juga ada benarnya. Meski menjaga satu anak perempuan, kata sebagian orang lebih sulit daripada menjaga puluhan kerbau.
Chat kami terus berlanjut malam itu. Berkali-kali teman BBM saya tersebut meng
ungkapkan kekagumannya terhadap budaya Bugis-Makassar yang sangat menghormati perempuan-- yang dibuktikan dengan uang panai. Sebuah bukti kerelaan dan tanggung jawab dari calon suami. Saya katakan kepadanya bahwa keberadaan uang panaibukan tanpa cacat. Tidak sedikit pasangan kekasih rela mengubur impiannya membina rumah tangga karena ketidakcocokan uang panai. Banyak rela silariang (kawin lari) menantang maut, melupakan malampaccing, melupakan suara gendang Makassar, dan meninggalkan kampung halamamnya hanya karena uang panai’.
Perempuan adalah salah satu sumber sirik paling besar dalam masyarakat Bugis-Makassar. Tidak sedikit terjadi pertumpahan darah hanya gara-gara perempuan. Misalnya dalam kasus silariang, pihak perempuanlah yang paling terkena dampak siri’ yang disebut tomasiri (orang yang dipermalukan). Dalam hal silariang, seorang lelaki bisa dengan leluasa bertemu keluarganya, bahkan tinggal di rumah keluarganya selama silariang, sementara pihak perempuan tidak bisa melakukan hal tersebut.
Seorang lelaki yang menikahi perempuan Bugis-Makassar dengan alur yang semestinya. Haruslah berbangga diri, karena telah membuktikan satu bukti cinta yang besar. Saya yakin, pihak perempuan tahu bagaimana susahnya pihak lelaki mencari uang panai demi dirinya, demi cinta mereka. Maka sudah seharusnya uang panai menjadi tameng untuk mengawetkan kehidupan berumah tangga.
Percakapan kami via BBM terus mengalir hingga malam jatuh pada titik larutnya yang sepi. Saya melupakan rasa capek karena seharian beraktivitas. Sebelum kami mengakhir chat malam itu karena dikalahkan kantuk. Teman saya tersebut tetap menunjukkan kengototannya ingin menjadi perempuan Bugis-Makassar.
Rumah kekasih, 2015
Karya: Irhyl R Makkatutu
Rujukan:
- Disalin dari blog Irhyl R Makkatutu.
- Pernah tersiar di Koran "Fajar" Makassar, Minggu 20 Desember 2015