Sastra dalam Romantisme Perang dan Melankolia Kolonialisme - Ibe S Palogai

CARA sebuah negara menyikapi kekalahan turut menentukan bagaimana identitas kolektif masyarakat terbentuk. Sikap yang tertutup dan enggan menerima kekalahan di masa lalu akan membuat masyarakat terisolasi oleh sejarah – bagian ini tentu tidak bisa lagi kita ubah. Lebih jauh, perasaan terisolasi akan membuat masyarakat terus merasa menjadi korban dan mewarisi masa lalu yang kacau, penuh dendam, dan kelam.

Pada suatu kesempatan, Dr. Mukhlis PaEni, dalam wawancara pada tahun 1996 pernah mengungkapkan, “Jangan sekali-kali memberi kesempatan kepada orang-orang Bugis-Makassar. Sebab apabila diberi kesempatan, maka mereka akan menjadi laksana singa bersayap.” Pernyataan ini sering pula disampaikan oleh mendiang salah satu pakar kebudayaan Bugis-Makassar dan Guru Besar Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Mattulada.

Pernyataan di atas tentu terbaca heroik dan ada kecenderungan memandang sejarah dari sisi romantisme. Tetapi bukan berarti mesti diabaikan sepenuhnya. Pernyataan ini juga berusaha menjelaskan adanya upaya-upaya pemerintah kolonial untuk mengamputasi ruang gerak kebudayaan masyarakat di Sulawesi Selatan. Hal tersebut dituangkan melalui aturan-aturan kolonial yang diterapkan ke masyarakat dan membuat ruang mereka merayakan kebudayaan semakin terbatas.

Toh, jika masyarakat yang ada sekarang diberi kesempatan, apakah mereka masih mampu menjadi laksana singa bersayap? Atau karena sudah terlalu jauh dan terputus dari kebudayaan, yang kita temukan sekarang adalah kisah kejayaan yang diceritakan untuk meninggikan leher, membusungkan dada, dan memerahkan mata?

Sulawesi Selatan turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia tetapi kekalahannya di masa lalu tidak menjadi kekalahan Indonesia. Sementara ikatan terdekat masyarakat tentu saja adalah sukunya. Dalam kasus ini, kita bisa belajar dari sejarah Prusia, sebagai kerajaan besar, Prusia punya peran penting dalam membentuk Jerman. Namun, kalangan elit Prusia lama yang memainkan peran yang pasif pada saat rezim Nazi berkuasa membuat Prusia dihilangkan dari Jerman secara resmi pada tahun 1940-an. Pada akhirnya, rintisan sejarah Jerman yang kalah dalam Perang Dunia Kedua berhasil mereka imajinasikan sebagai masa depan.

Tentu, kita ingin menjadi bangsa yang besar tanpa menyingkirkan sejarah bangsa yang lain. Kita ingin tumbuh tanpa mematikan anak bangsa kita sendiri. Kita tidak ingin mewarisi kepada mereka ingatan kolektif tentang konflik, darah, dan dendam yang tidak pernah berakhir.

Sebab, bagian terburuk dari perasaan menjadi korban atas masa lalu yang kacau adalah usaha keras untuk membuktikan kemampuan diri keluar secara sporadis. Sementara usaha memperbaiki diri ke dalam cenderung dinihilkan. Upaya pembuktian diri ini bisa menjadi petaka, sebab memunculkan inferiority complex pada masyarakat itu sendiri. Seolah kejayaan masa lalu itu diwariskan melalui mimpi oleh nenek moyang secara tutur-temurun dan bukan bersumber dari ketekunan mempelajari kebudayaan, masyarakat, dan zaman.

Kita bisa menemukan sisi yang mengerikan dari perang dan kolonialisme. Tetapi, melalui pemahaman yang kuat atas sejarah menuntun kita pada sikap yang terbuka dan mampu menerima kekalahan di masa lalu secara terbuka. Gagasan tentang keterbukaan dan penerimaan ini bisa kita rayakan dalam dunia penciptaan karya sastra – barangkali juga dalam medium penciptaan yang lain. Bagaimana masyarakat terjajah menuliskan sejarah dirinya?

*Terbit di Harian Fajar, 16 Desember 2018
*Tulisan ini disalin dari FB IBE S PALOGAI