Ibadah Malam Lampe
MALAM Ramadan ini tepat pada tahun ke-25, Lampe membaui keheningan sepertiga malam. Ia tidak pernah alpa meski sekali. Bersujud di atas sajadah putihnya yang berbulu lembut beraroma wangi. Berkhidmat dengan Tuhan lewat doa-doa. Hanya satu inginnya, agar tercatat di dalam buku. Di mana tercatat nama-nama orang kesayangan Tuhan.
Seperti biasa jika sepertiga malam hampir berlalu. Seusai merapalkan doa yang panjang. Maka air matanya mengucur deras, lama. Selang beberapa menit hanya ada suara isakan. Dan itu menandakan air matanya telah tandas. Lalu, ia akan menyeret tubuh letihnya di atas lantai beralaskan tikar plastik kasar. Dua bajunya dilipat tebal dijadikan sandaran kepala.
Belum juga matanya memejam. Sebuah bayangan berkelebat di dinding kamarnya. Ia terkesiap lalu bangkit tiba-tiba. Matanya menyapu setiap sudut kamar yang remang. Melangkah hati-hati menghampiri saklar. Ingatannya berkelebat jauh ke sore tadi. Saat ia bersantai sembari menyimak berita dari TV yang mengabarkan makin maraknya pencurian di malam hari. Ketika orang-orang meninggalkan rumahnya bertarawih di mesjid. Begitu menekan saklar dan lampu LED menyala terang, jantungnya hampir copot. Berdiri di dekatnya seseorang.
Baru saja ia hendak teriak tetapi orang itu terlebih dahulu membekap mulutnya dengan tangan. Sekujur tubuhnya gemetar tetapi tidak lama, setelah ia menatapinya saksama. Wajah orang itu bersih bercahaya, jubah putihnya terang lagi wangi, dan pembawaannya tenang serta terlihat menyenangkan.
“Kau siapa?” tanya Lampe terbata begitu bekapnya dilepas.
“Jangan takut! Jangan khawatir! Aku Malaikat. Utusan Tuhan yang datang memberimu kabar,” jawabnya.
Menatapinya lamat-lamat sekali lagi, membuatnya benar-benar yakin kalau dialah utusan Tuhan yang ditunggu-tunggunya selama ini. “Apa bukunya dibawa?” tanyanya tanpa ragu seusai membetulkan letak kopiah dan menarik bajunya ke bawah agar lurus dan rapi.
Malaikat itu pun mengeluarkan sebuah buku dari saku jubahnya. “Tunggu! Aku akan mengecek namamu,” ucapnya sambil membuka satu per satu halaman buku itu sampai halaman terakhir.
Lampe harap-harap cemas menanti jawaban. Lalu setelah melihat malaikat itu menutup bukunya. Ia mendongak. Maklum malaikat itu agak tinggi sekitar lima jengkal darinya. Semoga saja namaku ada. Dan aku termasuk orang-orang yang disayangi Tuhan, ucapnya dalam hati.
“Setelah dicek. Maaf! Namamu tidak ada,” terang malaikat itu.
Mendengar itu ia terperanjak. Matanya nyalang. Kepalanya terasa berputar. Bagaimana mungkin ibadahku selama 25 tahun sia-sia. Apa yang salah dengan ibadahku selama ini? Lalu, ia pun jatuh pingsan.
Malaikat menungguinya sampai bosan. Lututnya gemetar karena kelamaan berdiri. Ia pun merangsek ke kursi goyang. Tidak lupa ia menyalakan kipas angin android milik Lampe yang ada di atas meja belajar. Sebab ia merasa sedikit gerah.
Lampe siuman begitu tubuhnya digoyang-goyang. Air matanya langsung mengucur deras tidak tertahan. Jauh lebih deras dibanding sepertiga malam yang tidak pernah alpa dilaluinya.
“Dengarkan baik-baik dengan hatimu! Apa pernah kau menengok keluar selama ini? Fakir miskin sedang kelaparan di luar sana dan kau hanya khusyuk beribadah di sepertiga malam saja. Kau biarkan mereka kelaparan. Bahkan memikirkannya saja kau enggan,” jelasnya pada Lampe. Tangisnya belum juga mereda.
Sebelum pergi malaikat itu menyempatkan mengelus buwung Lampe untuk menenangkannya sekaligus mengingatkan agar secepatnya tobat. Tidak lupa pula ia berpesan: mulailah dari tetanggamu, tetanggamu masih banyak yang kelaparan!
Akhirnya, Lampe menyesal dan bertobat. Hari-harinya berikutnya pun dilalui tanpa beban. Hidupnya terasa seringan kapas. Selalu semringah jika bertegur sapa dengan orang-orang. Kini hidupnya telah berubah. Selain beribadah malam, ia menemui dan membantu tetangganya yang kekurangan serta tidak lagi membiarkan fakir miskin di sekitarnya kelaparan.
Suatu malam malaikat utusan Tuhan itu kembali menemuinya. Tanpa berkata-kata lagi. Ia menyodorkan bukunya pada Lampe. “Ambil ini! Aku agak lelah setelah dari Makassar lalu menemuimu lagi di sini. Cek sendiri! Apa namamu sudah ada di situ?” ucapnya. Seperti dulu ia pun melangkah ke kursi goyang lalu menyalakan kipas.
Setelah bola matanya bergerak-gerak menyusuri daftar nama-nama itu dari nomor urut 1 sampai 50. Tubuh Lampe menggigil gemetar perlahan, kepalanya terasa berputar, dan air matanya menderas lagi lantaran tidak menemukan namanya. Lututnya rebah ke lantai. Kini, ia merasa rapu dan ringkih. Diletakkannya buku itu di lantai tanpa gairah. Ia mau pingsan. Namun, malaikat itu buru-buru datang menepuk pundaknya.
“Hai! Sadar. Ambil bukunya kembali! Coba perhatikan baik-baik nomor urut 25.”
Berkat tepukan itu ia tidak jadi pingsan meski perasaannya tetap buruk. Diangkatnya kembali buku itu pelan. Matanya laksana panah yang tepat sasaran. Penglihatannya langsut mematut di angka 25. Di ejanya huruf itu satu-satu. L-A-M-P-E.
Baru saja Lampe hendak merayakan luapan kegembiraannya. Sebab namanya telah tercatat dan ia termasuk orang-orang yang disayangi Tuhan. Akan tetapi, mendadak napasnya tersengal-sengal, tubuhnya menggelinjang, dan kedua kakinya menendang-nendang. Sambil senyum-senyum menghampiri Lampe, malaikat itu mencabut nyawanya seketika.
Rappang, Ramadan 2017
Cat: buwung = ubun-ubun.
Karya : Iqbal Risadi*
Iqbal Risadi, lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Muhammadiyah Sidenreng Rappang. Tinggal di Rappang. Email: iqbalrisadi@gmail.com, No. HP : 0813 4754 7961.
Rujukan:
- Disalin dari file Iqbal Risadi
- Pernah tersiar di Harian FAJAR, 11 Juni 2017