TIDAK banyak orang yang dilahirkan dan tumbuh di zaman yang tepat. itulah kenapa hanya ada beberapa tokoh penting dalam berbagai bidang. Mereka lahir, tumbuh dan mengubah dunia dengan jalannya masing-masing, dan akhirnya mereka dikenang sepanjang masa. Chairil Anwar adalah salah satunya. Untuk alasan inilah kita bisa mendaulat penyair itu sebagai Penyair yang Mengubah Dunia.
Penyair yang Melankolis
Chairil adalah sosok yang berani, yang revolusioner dan eksistensialis, tetapi pada sisi lain, ia adalah sosok yang melankolis dengan segala hal yang menjadi unsurnya. Puisinya yang berjudul Taman, Pemberian Tahu, dan Sajak Putih membuktikan itu.
Bukan maksudku mau berbagi nasibNasib adalah kesunyian masing-masingKupilih kau dari yang banyak, tapiSebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.Aku pernah ingin benar padamu,Di malam raya menjadi kanak-kanak kembali.
Baris pertama dan kedua adalah perpaduan kalimat yang menciptakan “arena permainan.” Ada semacam pengakuan bahwa si aku lirik telah membagikan nasibnya, tetap ia melakukan pembelaan bahwa itu bukan maksudnya. Di kalimat kedua terlihat bahwa nasib adalah kesunyian yang bersifat individual. Selayaknya arena, Chairil memanfaatkan puisi sebagai ruang untuk berspekulasi dengan keadaan: membagi nasibnya, meski ia tak pernah bermaksud begitu.
Kalimat ketiga dan keempat menawarkan suasana yang berbeda dari dua baris sebelumnya. Kalimat ketiga menandakan kondisi eksistensialais: manusia yang memilih. Kalimat berikutnya (baris 4) si aku lirik yang kebebasannya ternyata terbatas, kebebesannya untuk memilih si kau lirik menimbulkan kesepian, bahkan membuatnya tidak bebas, yang disimbolkan dengan jaring
Dua kalimat terakhir menghadirkan sesuatu yang manis dari dirinya. Obsesinya terhadap si kamu lirik ditegaskan dengan gamblang, sesuatu yang tidak akan pernah dipilih penyair lain di zaman itu. Kalimat terakhir ditutup dengan frase kanak-kanak kembali, sebuah keadaan di mana kondisi seseorang masih memiliki kebebasan, obsesif, berani, tetapi tidak pendendam. Segala sifat dari kanak-kanak diakumulasikan sebagai kondisi di mana si aku lirik menginginkan si kau lirik di dalam puisi terebut.
Diksi-diksi yang dipilih oleh Chairil menandakan bahwa ia seorang yang melankolis. Seorang lelaki pemberontak yang memiliki cinta asmara di dalam hatinya. Perhatikanlah kata-kata pada kutipan yang telah saya jelaskan. Hal ini menegaskan jika kita membiacarakan Chairil, kita juga harus menyinggung sisi melankolisnya.
Chairil tidak hanya memberontak pada keadaan di sekitarnya, seperti dalam puisi Aku, Diponegoro, 1943, dan semacamnya, tetapi juga punya nilai tawar terhadap kasih sayang dalam arti yang paing sederhana. Carl Gustave Jung, menjelaskan bahwa the lover adalah sebuah ketidaksadaran kolektif yang diwarisi manusia dari leluhurnya. Ia memiliki sifat mencintai dan melindungi, ia akan menunjukan kecintaannya dengan berbagai macam cara yang bisa ia lakukan. Jung menyebut ini sebagai arketipe, dan terdapat pada diri Chairil.
Pelukis Afandi, yang juga merupakan kawan dekat penyair, pernah membuat lukisan yang berjudul nama lengkap penyair itu. Ia menciptakan lukisan manusia penuh ekspresi dan semangat, di sampingnya terdapat figur hewan kuda dan betis perempuan. Lukisan itu adalah definisi Chairil menurut pandangan estetis Afandi. Kuda adalah metafora keliaran dan kekuatan, dan betis perempuan sebagai sebuah perumpamaan yang di satu sisi Chairil sangat memuja perempuan, dan di sisi lain ia memikliki sifat feminin (melankolis?) di dalam dirinya.
Diri Chairil
Di berbagai laporan dituliskan, Chairil Anwar adalah orang yang sangat tidak tahan dengan dunia kantoran. Pernah ia mecoba peruntungan untuk bekerja kantoran, tetapi ditinggalkan tidak lama setelah ia memulai untuk bekerja. Ia berpetualang ke mana saja, suka mencuri buku dan berutang nasi bungkus dengan mengatasnamakan beberapa kawannya. Ia adalah orang yang betul-betul gelisah yang ingin terus menerjang, sebagaimana yang ia katakan dalam puisinya.
Hal ini tentu saja berbanding lurus dengan puisi-puisi perlawanannya yang gamblang. Sehingga tidak hanya puisi yang mambuatnya tampak sebagai seorang pemberontak, tetapi ia menghidupkan semangat puisinya di dalam kehidupannya sehari-hari.
Chairil adalah seorang bohemian, bahkan di dalam buku biografi penyair itu, tim TEMPO menuliskan jika Chairil adalah bohemian pertama di Jakarta. Lebih lanjut dijelaskan, pada 1942, ia pindah ke Jakarta mengikuti ibunya, Saleha, karena berpisah dengan ayahnya, Toeloes, yang menikah lagi. Di Jakarta ia miskin, bahkan telantar. Ia menggelandang dari satu tempat ke tempat lain. Untuk bertahan hidup, ia sering mencuri kecil-kecilan. Namun di “kampung besar” ini pula Chairil ditempa. Intelektualitasnya berkembang. Bacaannya bertambah banyak. Wawasannya semakin luas.
Puisi-puisi dan kedirian penyairnya adalah komposisi yang sempurna, yang telah dimatangkan oleh zaman di mana ia hidup. Ketika Jepang datang menawarkan hal baru dan penyair lain ikut dalam pusaran propaganda Jepang demi kemenangannya di perang Asia Timur Raya, Chairil memilih untuk tetap menunjukan sikap ka-akuannya yang frontal. Melalui jalan hidup seperti itu, Chairil sesungguhnya menegaskan bahwa kita sedang dalam kondisi melawan, dan hidup ini sedang tidak sehat.
Kita guyah lemah
Sekali tak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari berdiri merentak
Dan begitulah pada akhirnya, setelah meradang dan dirawat di Rumah Sakit Central Burgelijk Ziekenhuis, Jakarta, pada tanggal 28 April 1949, penyair besar itu meninggal di usia 27 tahun. Tetapi kita kembali menegaskannya hari ini, sampai seribu tahun lagi, Chairil Anwar akan tetap hidup dalam memori kolektif bangsa Indonesia, bahkan dunia.
Oleh: Dahri Dahlan*
Rujukan:
- Disalin dari Karya Dahri Dahlan
- Pernah tersiar di halaman Budaya Harian FAJAR, 7 Mei 2017