BERUNTUNGLAH bagi kamu yang lahir dan dibesarkan bukan dari desaku. Sebab di desaku ini, kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat Pamali dari leluhur masih dijunjung tinggi. Entah aku yang beruntung atau kalian yang rugi atau bahkan malah sebaliknya. Tapi, inilah realitas sesungguhnya. Sejak dahulu hingga tulisan ini dituliskan, Pamali di desaku masih saja bertebaran di rumah-rumah warga. Aku tinggal di salah satu kampung yang berada di Jeneponto. Romanga nama kampungku. Bagi masyarakat Makassar pasti tahu arti dari kata Romanga. Di kampung kami Romanga adalah bahasa daerah Makassar yang berarti hutan. Dan aku akui. Dulu sebelum desa ini berdiri, kawasan ini adalah hutan. Hingga sekarang di depan rumahku pun masih berdiri pohon-pohon besar yang jika dipandang di malam hari membuat bulu kuduk berdiri.
***
Konon dulu di kampung ini hidup seorang gadis yang sangat jelita dan memiliki suara yang sangat indah. Semua orang senang mendengar suarannya. Dewi namanya. Ia terkenal sangat suka menyanyi.
“Battu ratema ribulang, Marencong-rencong/ Ma’rencong-rencong, Makkuta’nang ribintoeng/ Apa kananna, Attudendang baule….”
Lagu Battu Ratema Ribulang yang paling sering didendangkannya. Bahkan saat ia mandi, cuci piring dan memasak pun ia selalu bernyannyi. Berita kecantikan dan suara emasnnya bahkan tersebar hingga ke pelosok kampung sebelah. Pelbagai lamaran pun datang ke rumahnya. Namun yang mengherankan adalah semua yang datang melamar adalah laki-laki yang telah memiliki anak, bahkan ada juga yang telah bercucu. Bukan hanya itu, yang lebih mengherankan lagi, tak satu pun perjaka yang datang melamarnya. Hal ini membuat keluarga bahkan tetangganya bertanya-tanya.
“Ada apa dengan pemuda-pemuda yang ada di kampung kita? Bukankah Dewi adalah gadis yang sangat cantik? Mengapa pemuda-pemuda desa ini mau dikalah oleh orang tua?” kata salah seorang keluarga Dewi yang baru saja selesai menerima tamu yang datang melamar Dewi. Tentu saja Dewi menolak lamaran laki-laki itu. Bayangkan saja dia telah mempunyai tiga orang istri dan delapan orang anak. mendengarnya saja sudah membuatku geli.
“Dewi, apa kamu tidak punya seseorang yang kamu sukai?” kata Ayah Dewi usai menerima tamu.
Dewi menunduk malu lalu berkata. “Sebenarnya Dewi suka dengan salah satu pemuda yang ada di kampung kita Ayah. Tapi, pemuda itu tidak pernah mau melihatku sama sekali.” Wajah Dewi seketika muram.
“Siapa dia, Nak? Lelaki yang telah membuatmu jatuh hati.”
“Dia adalah Firman. Anak dari Pak Imam desa kita.”
“Baiklah, kalau begitu nanti Ayah akan bicarakan hal ini kepada Bapaknya. Kebetulan Ayah berteman dekat dengannya. Daripada keluarga kita terus-terusan diserang lamaran dari para keladi, lebih baik Ayah yang bicara langsung kepada Ayah Firman.”
***
Matahari mulai terbenam. Suara azan telah terdengar bersahut-sahutan di beberapa masjid. Pak Ramli, Ayah Dewi bergegas menuju masjid yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahnya. Usai salat Magrib, ia menghampiri Pak Marwan yang kebetulan sedang bersama Firman.
“Bagaimana kabarnya, Pak?” Pak Ramli menyalami Pak Marwan dan Firman.
“Alhamdulillah, baik.”
“Begini Pak. Marwan, saya mau bicarakan sesuatu kepada Bapak dan Firman. Ini sedikit sakral sebenarnya. Tapi, untuk saat ini saya hanya mau sekadar bertannya-tannya kepada Nak Firman.”
“Pertanyaan apami itu Om? Kenapa harus sakral?” tanya Firman penasaran.
“Begini Nak. Kemarin lagi-lagi ada yang datang melamar Dewi. Tapi, saya heran mengapa semua yang datang melamar jika bukan orangtua pasti orang yang sudah menikah. Untuk itu saya mau bertannya kepada Nak Firman, apakah kau tidak sedang melirik Dewi? Saya mau menikahkannya dalam waktu dekat ini, sebab saya tidak enak dengan orang yang datang melamar tapi, terus-terus menolak.” Jelas Pak Ramli panjang lebar.
“Maaf Om, saya sama sekali tidak pernah melirik ke arah Dewi. Saya juga heran kenapa gadis secantik Dewi tidak bisa membuat saya linglung.”
Mendengar pernyataan Firman, Pak Ramli menelan pahit di tenggorokannya. Ia pulang dengan beribu pertanyaaan di kepalannya. Mengapa tidak ada pemuda yang mau menikahi Dewi dan mengapa lelaki yang datang melamar Dewi adalah lelaki yang sudah berumur. Apa kesalahan Dewi selama ini?
***
Waktu terus berjalan. Dewi sudah hampir berumur 40 tahun. Namun, tak ada satu pun pemuda yang datang melamarnya. Yang datang masih saja laki-laki yang sudah berumur. Seperti hari ini, seorang duda datang melamar Dewi.
Dengan berat hati Dewi menerima lamaran laki-laki itu. Setidaknya lelaki yang ada di rumahnya sekarang tidaklah mempunyai istri dan anak. Pernikahan pun akhirnya digelar. Meski terdengar bisik-bisik tetangga yang tidak nyaman di telinga orangtua Dewi dan Dewi sendiri. Seperti rasa kasihan karena gadis secantik Dewi harus menikah dengan seorang duda. Bahkan sekarang para orangtua telah mendapat pelajaran. Mereka melarang anaknya melakukan kebiasaan seperti apa yang selalu dilakukan Dewi dulu. Seperti menyanyi saat mandi, cuci piring, dan lain-lain.
***
“Riska! Kalau kau tak mau yang datang melamarmu orangtua, jangan menyanyi di kamar mandi. Berapa kali Mama harus bilang.” Suara Mama terdengar nyaring di telingaku.
“Aduh Ma, apa hubunganya menyanyi dengan dapat suami orangtua sih?”
“Jangan membantah, Riska!!”
Yah, begitulah Mama. Tidak boleh dibantah sedikit pun. Kalau dibilang Pamali, yah tetap Pamali. Tidak a, i , u dan e. Tidak hanya aku yang mendapatkan larangan seperti itu. Semua anak gadis di kampungku pun merasakan hal yang sama.*
Karya : Ainun Jariah
Rujukan:
- Pernah tersiar di Harian FAJAR Edisi 11 Desember 2016
- Disalin dari file Ainun Jariah
Cerpen Ainun Jariah |