JIKA Anda berada di tulisan ini tanpa terlebih dahulu membaca postingan saya sebelumnya, maka saya sarankan agar Anda kembali ke bawah, dan membaca tulisan saya berjudul "Gerai Koran" (7/8/2016). Tapi jika Anda tidak ingin kembali ke postingan sebelumnya, karena Anda bersikeras tetap berada di tulisan ini, itu juga tak apa apa. Saya tidak pernah kecewa pada Anda.
Tulisan ini berisi akumulasi pikiran saya pribadi tanpa adanya tendensi politik atau berupaya mencari pencitraan dari nama yang saya sebut di dalam status ini. Bukan itu.
Sungguh, meskipun saya sedikit mengenal beberapa nama berikut (saya kenal dari tulisannya di banyak media), saya tak punya kepentingan apa pun untuk mengangkat reputasinya lewat status fesbuk ini.
***
PAGI ini, di sebuah gerai koran yang tidak bernama, terletak di pojok kota kecil bernama Sungguminasa, tepatnya -semoga kau sesekali ke sini- di jalan malino, depan TK Bhayangkari, Aspol Batangkaluku, Gowa, Sulsel.
Saya sedang asyik membaca Harian Fajar, edisi Minggu 7 Agustus 2016. Pada rubrik budaya mata saya berhenti dalam waktu yang lama. Bercengkerama dengan nama penulis melalui kata katanya.
PUISI
Pertama tama saya berkenalan dengan Puisi Hasymi Arif. Tiga buah puisinya berhasil saya lahap; Serumah Semut, Dibalik Jendela dan Di Meja Makan. Mataku berhenti lama di puisi terakhirnya. Di Meja Makan. Entah mengapa saya kembali harus merasakan jatuh cinta. Bukan kepada penulisnya ya, tapi kepada puisinya yang berjudul Di Meja Makan. (Semoga yang di sana tidak cemburu, ya).
Di Meja Makan dalam puisi Hasymi Arif, mengingatkan saya tentang esai yang saya tulis ketika saya masih duduk di bangku SMA, kira kira empat tahun silam. Saya menulis pentingnya meja makan dalam mempertemukan semua anggota keluarga. Dan di tempat itulah suntikan moral dari orangtua bisa masuk ke otak dan hati anak anaknya. Namun sepertinya acara makan bersama di meja makan sudah mulai ditinggalkan banyak keluarga. Bahkan jika pun masih ada, banyak di antara mereka dari anggota keluarga itu yang makan sedang di tangannya tak terlepas smartphone kerennya.
Saya mengapresiasi ide dari penulis puisi kali ini. Dalam puisinya yang berjudul di meja makan itu, ia berhasil mengaitkan dengan banyak hal, seperti 'taman', 'pertunjukan', 'hiburan', 'perbelanjaan', 'percintaan', dan 'kenangan'. Tentunya kaitan yang paling saya suka berada di penghujung kalimat dalam puisinya. Hasymi menulis: "tempat terbaik me
mulai percakapan: di meja makan."
mulai percakapan: di meja makan."
Saya berpendapat, Hasymi telah berhasil mengurai padanan kalimat yang sesuai dengan kalimat "di meja makan" dengan kalimat lain yang logis. Bukti mampunya ia mengawinkan banyak kata dengan kalimat meja makan adalah ia berhasil meniadakan kerutan di dahi saat saya membaca puisinya itu.
APRESIASI
Selanjutnya saya membaca kolom Apresiasi yang ditulis oleh Wahyu Gandi G. Judulnya, melawan rahasia, mengalah atau mengalahkannya. Mahasiswa Fakultas Sastra UNM ini bercerita tentang buku puisi dari Adimas Immanuel. Namun setelah membaca seluruh coretannya, saya berpikir sebenarnya Wira, panggilan akrab Wahyu Gandi, banyak bicara tentang pengalaman dirinya berhadapan dengan buku. Terutama dengan buku Immanuel dan buku buku lainnya yang sebenarnya memunculkan satu pertanyaan: Apakah Wahyu atau Wira ini benar benar melawan rahasianya sendiri dengan cara ia turut mengalah terhadap isi dompetnya? Atau ia benar benar mengalahkan isi dompet hanya dengan imaji yang ia bangun lewat apresiasinya terhadap buku Immanuel tersebut?
Hingga pada bagian akhir, Wira (semoga beliau berkenan kupanggil namanya demikian), penulis muda makassar ini sebenarnya memperlihatkan kepada pembaca bahwa menuruti nafsu membaca itu bukan karena manfaatnya saja yang banyak tetapi di balik manfaat itu, pasti ada pikiran tentang dompet kosong yang menghantui.
Seperti tulis Wira di akhir kalimatnya, "(membaca) berefek pada rak bukumu di rumah akan bertambah sempit, dengan satu tuntutan untuk menyelesaikan buku yang lain semakin deras mengalir menuju ingatan tentang isi dompet yang telah kosong."
CERPEN
Cerpen Irhyil R Makkatutu berjudul Perempuan Tua di Rumah Tua. Saya ingin bertanya kepada Irhyl (semoga beliau berkenan menjawabnya, karena penulis Makassar yang satu ini adalah seorang penulis muda yang terus produktif dalam menulis. Pun tulisannya sering sekali kita temukan di media baik daring maupun cetak). Ini pertanyaan saya: Di jalan apa letak rumah tua perempuan tua itu? Kau hanya menyebut di pinggir jalan dan di dekat sebuah jembatan. Tanpa menyertakan nama jalan atau pun nama jembatan itu. Padahal nama adalah sebuah identitas. Ciri. Tanda.
Bukan cuma itu, sesungguhnya deskripsi yang belum jelas ini menghantui pikiran saya, membuat saya cemas setelah membaca cerpenmu. Sebab dahaga penasaran saya belum terpuaskan terhadap kisah yang hendak dibagi kelima lelaki itu, sebagaimana yang kau tuliskan di bagian akhir kalimat di cerpenmu.
Rakit-Gowa, 7 Agustus 2016
Harian Fajar, edisi 7/8/2016 |