Suro, pesuruh datang tengah malam dengan wajah dilumuri peluh.
Sarung bercorak kotak-kotak kecil warna hijau melilit pinggangnya,
menjuntai hingga lutut. Celana jongkoro, celana pendek longgar yang
dikenakan terlihat basah. Passapu, pengikat kepalanya
berantakan, tak lagi lurus semestinya. Napasnya terengah. Aku yang sejak
beberapa malam tak bisa tidur mendengar tubarani mencecarnya dengan
tanya di depan kamarku.
“Ada pesan dari sang Putri yang harus kusampaikan, ini penting,” jelasnya terdengar samar dari dalam bilikku.
Aku membuka pintu dengan sedikit tergesa. Ketika pintu terkuak, serentak para tubarani berjongkok menyembah. Sebenarnya aku risih diperlakukan demikian. Suro maju ke depan dengan berjalan jongkok tanpa berani mendongakkan kepala. Passapunya telah miring
Tak banyak kata selain basa-basi yang diucapkan, sebagai sumpah setia lalu menyerahkan gulungan daun lontar kepadaku. Aku bisa menebak apa isi surat itu. Suro yang datang tengah malam kali ini bukan sembarang suro. Ia adalah suro andalan sang Putri.
“Apakah kegelisahan sang Putri serupa gelisahku yang merongrong tanpa jeda?” terkaku dalam hati.
“Pulanglah, aku akan segera ku Bukit Tamalate!” perintah itu menguar begitu saja. Suro bergerak mundur sambil jongkok, lalu menghilang ditelan pekat. Tak ada pikiran lain mampir ke kepalaku selain menyuruh pengawal menyiapkan kuda. Aku bergegas masuk ke kamar, mengenakan baju warnah merah darah dan passapu.
Sangat jarang perintah sang Putri bertandang untuk menemuinya. Pasti ada hal genting yang terjadi di tanah Gowa. Harusnya aku tak perlu bertanya, sebab aroma kemarahan dan darah telah menyebar kemana-mana. Aku gelisah, serupa saat Belanda akan menaklukkan Gowa.
*****
Aku memasuki rumah sang Putri, dayang-dayang yang mengiringi saat ia turun ke bumi tertunduk lesu, aku kadang berharap mendengar mereka ma’royong. Tapi, wajah para dayang itu diremasi duka, ada kesedihan teramat tanak di sana. Dan wajah sang Putri kehilangan cerianya.
“Gowa kembali berdarah, I Mallombasi, kerakusan menguasai Gowa seperti sebelum aku turun ke bumi,” tutur sang Putri.
“Aku tak mengerti kenapa kerakusan manusia tak pernah padam. Api kekuasaan terus saja berkobar melahap apa saja,” lanjutnya dengan suara bergetar antara marah dan sedih.
Aku tak berani mendongak menatap mata bening sang Putri. Tumanurung Bainea, pemegang tumpuk kekuasaan pertama di Gowa setelah periode La Galigo berakhir. Tak ada yang bisa mencegah air mata sang Putri tumpah, air matanya bening, sangat bening. Aku hanya melihatnya sekilas. Para dayang-dayang yang turun bersamanya tak bergeming. Satu di antara mereka memberanikan diri maju menyerahkan selendang warna kuning cerah, lalu sang Putri menghapus air matanya dengan selendang itu.
Suaranya tak keluar seperti juga suaraku dan suara semua orang yang ada di ruangan itu. Kami hanya bisa menangis bersama, menahan marah yang entah kepada siapa akan disarungkan agar reda. Semua leluhur Gowa berkumpul di rumah sang Putri meratapi nasib Gowa yang kembali koyak oleh ego.
Aku tertunduk lesu, aku merasa yang paling bertanggung jawab—sebab di tanganku, pada saat singgasana berada kepadaku, Gowa runtuh diobrak abrik Tomalompoa, Belanda. Perjanjian Bongaya yang kutanda tangani dengan sangat terpaksa mengubah wajah Gowa. Aku tak punya pilihan, keselamata rakyat Gowa saat itu jauh lebih penting daripada tahtataku, daripada nyawaku sendiri.
Di sini, di anja, dunia arwah, akhirat kami tak bisa berbuat apa-apa selain menangis, selain meratapi nasib Gowa yang dulu ditakuti karena keberanian tubaraninya, karena memegang adat siriq na pacce yang tak goyah. Kami tak punya kuasa apa-apa lagi di sini bahkan doa tak lagi berguna. Yang kami punya hanya air mata dan marah yang tak bisa disalurkan lagi, selain kembali berubah tangis.
“Sengaja kukumpulkan kalian di sini, di Bukit Tamalate ini sebab dari sinilah Gowa kembali dibangun setelah rakyatnya sianre bale seperti yang terjadi sekarang ini. Rakyat bingung harus berkiblat kemana, mereka dijadikan tumbal kekuasaan,” ujar sang Putri dengan suara serak yang berat. Sisa tangisannya masih membaur dalam suaranya.
Aku semakin tertunduk, ini lebih berat rasanya daripada saat Belanda menghancurkan Gowa dengan meriam. Saat itu, lawan sangat jelas siapa, mereka adalah orang asing dari negeri jauh dan para sekutunya yang haus kekuasaan sehingga rela membantai sebangsanya sendiri. Tapi kini yang terjadi di Gowa adalah perebutan kekuasaan sesama saudara, sedarah, setanah air Gowa yang bersejarah.
Aku tak bisa mengeluarkan kata-kata, air mataku saja yang tumpah. Jika saja kami punya kuasa kembali ke dunia, kembali ke tanah Gowa sebagai manusia dengan napas mengalir dalam tubuh. Aku akan datang ke Istana Balla Lompoa, menangis sejadi-jadinya agar orang tahu, kami sedih dengan yang menimpah tanah bersejarah ini.
“Kita berkumpul di sini, bukan untuk melawan, kita tak punya lagi kuasa. Kita berkumpul hanya untuk merayakan kesedihan kita atas apa yang dilakukan para anak cucu kita di Gowa yang berebut kekuasaan."
Aku mendongak, memberanikan diri—menatap mata bening sang Putri. Tak ada senyum, tak ada, yang ada hanya air matanya yang meleleh, juga air mata para petinggi Gowa tempo silam, raja-raja Gowa pun sama, bisu. Para tubarani pun tertunduk lunglai, tak ada kegarangan di mata mereka. Tak ada apa-apa yang tersisa di anja ini selain kesedihan. Sedih meremasi kami. Suro yang datang memanggilku di jeraqku, makamku pun tertunduk lesu di sudut ruangan.
“I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya sang Putri kepadaku. Aku mengedarkan pandangan, menatap semua yang ada. Aku merasa tak pantas diperlakukan istimewa oleh sang Putri, masih ada raja-raja yang lebih dulu menakhodai Gowa.
“Kamulah yang paling dekat dengan rakyat Gowa, Mallombasi, nama dan patungmu ada di mana-mana, kau lebih kenal dari kami, dan hanya jeraqmu yang selalu dipasangi lilin merah yang menyala. Orang Gowa akan mendengar titahmu, bertitahlah! Lalu kita memohon kepada penentu nasib, agar kita bisa menjelma ke dunia. Menyatukan kembalki rakyat Gowa dari cerainya yang mengiris, menjelma Tomanurung”
Aku memperbaiki passapu yang hampir jatuh karena lebih banyak tertunduk. Aku ingin bertitah, tapi suaraku tertahan oleh tangis, lalu air mata meruah, membanjir dari mataku. Kami kembali menangis dalam geram melihat Gowa dikoyak anaknya sendiri. Kami merasakan luka duka yang nganga tanpa jeda.
Rumah kekasih, 10 Oktober 2016
“Ada pesan dari sang Putri yang harus kusampaikan, ini penting,” jelasnya terdengar samar dari dalam bilikku.
Aku membuka pintu dengan sedikit tergesa. Ketika pintu terkuak, serentak para tubarani berjongkok menyembah. Sebenarnya aku risih diperlakukan demikian. Suro maju ke depan dengan berjalan jongkok tanpa berani mendongakkan kepala. Passapunya telah miring
Tak banyak kata selain basa-basi yang diucapkan, sebagai sumpah setia lalu menyerahkan gulungan daun lontar kepadaku. Aku bisa menebak apa isi surat itu. Suro yang datang tengah malam kali ini bukan sembarang suro. Ia adalah suro andalan sang Putri.
“Apakah kegelisahan sang Putri serupa gelisahku yang merongrong tanpa jeda?” terkaku dalam hati.
“Pulanglah, aku akan segera ku Bukit Tamalate!” perintah itu menguar begitu saja. Suro bergerak mundur sambil jongkok, lalu menghilang ditelan pekat. Tak ada pikiran lain mampir ke kepalaku selain menyuruh pengawal menyiapkan kuda. Aku bergegas masuk ke kamar, mengenakan baju warnah merah darah dan passapu.
Sangat jarang perintah sang Putri bertandang untuk menemuinya. Pasti ada hal genting yang terjadi di tanah Gowa. Harusnya aku tak perlu bertanya, sebab aroma kemarahan dan darah telah menyebar kemana-mana. Aku gelisah, serupa saat Belanda akan menaklukkan Gowa.
*****
Aku memasuki rumah sang Putri, dayang-dayang yang mengiringi saat ia turun ke bumi tertunduk lesu, aku kadang berharap mendengar mereka ma’royong. Tapi, wajah para dayang itu diremasi duka, ada kesedihan teramat tanak di sana. Dan wajah sang Putri kehilangan cerianya.
“Gowa kembali berdarah, I Mallombasi, kerakusan menguasai Gowa seperti sebelum aku turun ke bumi,” tutur sang Putri.
“Aku tak mengerti kenapa kerakusan manusia tak pernah padam. Api kekuasaan terus saja berkobar melahap apa saja,” lanjutnya dengan suara bergetar antara marah dan sedih.
Aku tak berani mendongak menatap mata bening sang Putri. Tumanurung Bainea, pemegang tumpuk kekuasaan pertama di Gowa setelah periode La Galigo berakhir. Tak ada yang bisa mencegah air mata sang Putri tumpah, air matanya bening, sangat bening. Aku hanya melihatnya sekilas. Para dayang-dayang yang turun bersamanya tak bergeming. Satu di antara mereka memberanikan diri maju menyerahkan selendang warna kuning cerah, lalu sang Putri menghapus air matanya dengan selendang itu.
Suaranya tak keluar seperti juga suaraku dan suara semua orang yang ada di ruangan itu. Kami hanya bisa menangis bersama, menahan marah yang entah kepada siapa akan disarungkan agar reda. Semua leluhur Gowa berkumpul di rumah sang Putri meratapi nasib Gowa yang kembali koyak oleh ego.
Aku tertunduk lesu, aku merasa yang paling bertanggung jawab—sebab di tanganku, pada saat singgasana berada kepadaku, Gowa runtuh diobrak abrik Tomalompoa, Belanda. Perjanjian Bongaya yang kutanda tangani dengan sangat terpaksa mengubah wajah Gowa. Aku tak punya pilihan, keselamata rakyat Gowa saat itu jauh lebih penting daripada tahtataku, daripada nyawaku sendiri.
Di sini, di anja, dunia arwah, akhirat kami tak bisa berbuat apa-apa selain menangis, selain meratapi nasib Gowa yang dulu ditakuti karena keberanian tubaraninya, karena memegang adat siriq na pacce yang tak goyah. Kami tak punya kuasa apa-apa lagi di sini bahkan doa tak lagi berguna. Yang kami punya hanya air mata dan marah yang tak bisa disalurkan lagi, selain kembali berubah tangis.
“Sengaja kukumpulkan kalian di sini, di Bukit Tamalate ini sebab dari sinilah Gowa kembali dibangun setelah rakyatnya sianre bale seperti yang terjadi sekarang ini. Rakyat bingung harus berkiblat kemana, mereka dijadikan tumbal kekuasaan,” ujar sang Putri dengan suara serak yang berat. Sisa tangisannya masih membaur dalam suaranya.
Aku semakin tertunduk, ini lebih berat rasanya daripada saat Belanda menghancurkan Gowa dengan meriam. Saat itu, lawan sangat jelas siapa, mereka adalah orang asing dari negeri jauh dan para sekutunya yang haus kekuasaan sehingga rela membantai sebangsanya sendiri. Tapi kini yang terjadi di Gowa adalah perebutan kekuasaan sesama saudara, sedarah, setanah air Gowa yang bersejarah.
Aku tak bisa mengeluarkan kata-kata, air mataku saja yang tumpah. Jika saja kami punya kuasa kembali ke dunia, kembali ke tanah Gowa sebagai manusia dengan napas mengalir dalam tubuh. Aku akan datang ke Istana Balla Lompoa, menangis sejadi-jadinya agar orang tahu, kami sedih dengan yang menimpah tanah bersejarah ini.
“Kita berkumpul di sini, bukan untuk melawan, kita tak punya lagi kuasa. Kita berkumpul hanya untuk merayakan kesedihan kita atas apa yang dilakukan para anak cucu kita di Gowa yang berebut kekuasaan."
Aku mendongak, memberanikan diri—menatap mata bening sang Putri. Tak ada senyum, tak ada, yang ada hanya air matanya yang meleleh, juga air mata para petinggi Gowa tempo silam, raja-raja Gowa pun sama, bisu. Para tubarani pun tertunduk lunglai, tak ada kegarangan di mata mereka. Tak ada apa-apa yang tersisa di anja ini selain kesedihan. Sedih meremasi kami. Suro yang datang memanggilku di jeraqku, makamku pun tertunduk lesu di sudut ruangan.
“I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya sang Putri kepadaku. Aku mengedarkan pandangan, menatap semua yang ada. Aku merasa tak pantas diperlakukan istimewa oleh sang Putri, masih ada raja-raja yang lebih dulu menakhodai Gowa.
“Kamulah yang paling dekat dengan rakyat Gowa, Mallombasi, nama dan patungmu ada di mana-mana, kau lebih kenal dari kami, dan hanya jeraqmu yang selalu dipasangi lilin merah yang menyala. Orang Gowa akan mendengar titahmu, bertitahlah! Lalu kita memohon kepada penentu nasib, agar kita bisa menjelma ke dunia. Menyatukan kembalki rakyat Gowa dari cerainya yang mengiris, menjelma Tomanurung”
Aku memperbaiki passapu yang hampir jatuh karena lebih banyak tertunduk. Aku ingin bertitah, tapi suaraku tertahan oleh tangis, lalu air mata meruah, membanjir dari mataku. Kami kembali menangis dalam geram melihat Gowa dikoyak anaknya sendiri. Kami merasakan luka duka yang nganga tanpa jeda.
Rumah kekasih, 10 Oktober 2016
Karya : Irhyl R Makkatutu
Rujukan:
Rujukan:
- Disalin dari tulisan Irhyl R Makkatutu dari Blog
- Pernah tersiar di Koran Fajar Edisi 16/10/2016