Apresiasi Muh. Syakir Fadhli, Harian Fajar 4/9/2016 | Gambar: Ruslan Kibe |
Selama masih ada manusia, maka selama itu pula cinta akan dibincangkan.
TAK sedikit suara membenarkan kekata itu. Betul. Sebab cinta adalah anugerah yang diberikan Tuhan sedari lahir. Merasakannya adalah fitrah dan lumrah. Cinta tidak akan pernah luntur untuk dibahas oleh makhluk perasa, bernama manusia. Mengenai kisah pertautan rasa, bila disandingkan dengan adat kebudayaan maka tentu akan memunculkan dimensi baru, dimensi yang dalam banyak kesempatan telah mewarnai kisah hidup manusia.
Banyak karya yang menyoal tentang cinta dan adat kebudayaan. Semisal perjuangan cinta Zainuddin dan Hayati, dalam film berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Film yang di dalamnya melibatkan kultur Sulawesi, Sumatera dan Jawa. Ada pula film berjudul Badik Titipan Ayah, juga membahas tentang kultur. Kebudayaan Siri’ na Pacce di Tanah Panrita Lopi, Bulukumba.
Dalam dunia kesusastraan, pembahasan serupa disuguhkan oleh Ahmad Sahide kepada pembaca, dalam novelnya yang berjudul Cinta Anak Karaeng. Dalam novel ini ia memceritakan tentang perjuangan cinta, keterikatan adat serta harapan yang senja. Meski menggeramkan, tapi premis-premis dalam novel ini serasa telah membungkam begitu banyak mulut. Sekaligus mewakili banyak mulut yang lain untuk bicara.
Berlatarkan Desa Kindang, atau Bulukumba secara umum, Ahmad Sahide dengan apik mengisahkan rumitnya hubungan antara dua tokoh yang saling mencintai. Tokoh perempuan yang dikisahkannya adalah anak Karaeng –strata sosial tertinggi dalam masyarakat Makassar. Anak bangsawan yang jatuh cinta kepada Daro – bernama lengkap Darwis - pemuda yang hanya lulus sekolah dasar.
Sangat jelas digambarkan melalui karakter Karaeng Asri, yang menyesal disertai nada kecewa karena dilahirkannya di tengah keluarga kekaraengan. Ia tak punya kuasa sedikitpun untuk melawan adat. Mau tak mau ia harus berkorbankan perasaan. Mereka harus berpisah sebab keduanya tak kunjung menuai kata setuju dari keluarganya. Dan Daro harus terusir dalam rangkaian peristiwa ini,.
Ia dituding telah mencoreng nama baik keluarga Karaeng -dengan sikapnya yang berani mencintai Karaeng Asri. Sebagai konsekuensi, Daro harus meninggalkan kampung halamannya sendiri, pergi beserta kedua orang tuanya. Meninggalkan Kindang, menjauhi Bulukumba.
Jika ditarik ke dalam realitas kehidupan, hal ini tentu akan sangat membekas, boleh jadi sudah ada yang pernah mengalami. Tak jauh dari persoalan anak dengan orang tuanya; hilangnya kekerabatan serta hubungan kekeluargaan; munculnya tindak kekerasan; hingga pada pilihan untuk mengakhiri hidup dengan cara yang bermacam-macam. Tak jarang, kesemuanya hanya akan menyisa sesal atau sikap saling menyalahkan.
Dalam era seperti sekarang, kaum muda haruslah cerdas memilah dan memilih, melihat dengan teliti, sebelum menentukan siapa yang kelak akan dipilihnya -sebagai ‘sahabat’ di separuh hidupnya. Di samping sebagai renungan bagi orang tua, yang sejatinya selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya tanpa mengorbankan perasaan anak maupun orang tua itu sendiri.
Dalam novel ini Karaeng Bakri jelas sangat kukuh menjaga putrinya. Juga berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang menyadarkan bahwa dalam hidup, kita akan selalu berada dalam aturan. Terikat dengan aturan satu dan aturan yang lainnya. Kita menghadirkannya dengan tujuan agar kehidupan bisa menjadi lebih baik. Adapun kehadiran adat, di tengah masyarakat telah menjadi dimensi tersendiri untuk dilirik dan dipertimbangkan.
Dalam novel ini saya melihat harapan. Ada harapan yang terselip di antara kejadian dan ucapan tokoh-tokohnya. Ada banyak pesan sosial di dalamnya. Maka dari itu, novel Cinta Anak Karaeng ini layak diapresiasi atas kehadirannya. Ahmad Sahide telah menyajikan dengan begitu indah. Ia telah menghadirkannya dalam bentuk karya fiksi, di tengah-tengah tradisi yang dianggap kaku dan ketakutan banyak orang dengan buku-buku berbau ilmiah.
Saat saya menyelesaikan membaca novel ini, saya masih diliputi rasa penasaran –dan berharap tak salah paham, Ada kalimat yang merampas perhatian saya. Dari sekian banyak kalimat yang ada, saya sempat tertahan lama ketika membaca keluhan Karaeng Asri. Ada benarnya kalimat kecil itu. kalimat yang ia perdengarkan kepada adiknya bahwa “Cinta suci adalah pemberian Tuhan. Ia seharusnya tidak dinodai oleh kultur ciptaan manusia.”
Karya: MUH. SYAKIR FADHLI - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Alauddin Makassar.
Rujukan:
- Disalin dari karya Muh. Syakir Fadhli
- Pernah tersiar di Koran Fajar Makassar, Edisi 4/9/2016