PARAKANG, sejenis ilmu hitam yang lumayan karib di jazirah Sulawesi bagian selatan, penganutnya mengamalkan ilmunya demi kekayaan dengan menikmati jeroan bayi atau manusia sekarat, serta terwariskan dengan sepenggal kata pamungkas: allei. Bisa menjelma menjadi seekor anjing, sebatang pohon pisang, atau kampoti yang bisa dimusnahkan dengan duakali pukulan pelepah lontar.
Perbincangan soal parakang, kembali menyeruak ke ruang publik ketika Khrisna Pabichara mengangkatnya dalam novel, Natisha (Javanica, 2016). Apalagi penulis mampu mendedah perkara parakang dengan data yang tidak biasa. Perihal upacara parakang sukkuk, misteri Kitta’ Kaparakangang dan Kitta’ Kelong Parakang menjadi daya tarik tersendiri.
Novel ini, membetot ingatan ke enam tahun silam, ke sebuah kumpulan cerpen anggitan penulis yang sama: Khrisna. Cerpen bertajuk Mengawini Ibu (Kayla Pustaka, 2010) yang dikemas ulang dengan imbuhan dua cerita, Laduka dan Pemburu Parakang diberi titelGadis Pakarena (Dolphin, 2012), menjadi semacam prekuel dari Natisha. Setidaknya ada empat cerita yang menguatkan itu: Selasar, Lebang dan Hatinya, Pemburu Parakang, danHati Perempuan Sunyi.
Bila Selasar menjadi tanda pengenal bagi Tutu, Lebang dan Hatinya memilin takdir Rangka dan Lebang yang terikat pada tradisi abbatte –duel untuk adu keberanian dan keampuhan ilmu Mancak Pore, silat khas Makassar, Pemburu Parakang menautkan Lebang (Natisha), Rangka, dan Tutu pada isu parakang, sedang Hati Perempuan Sunyi mengurai perburuan Tutu terhadap Rangka yang melarikan Natisha.
Cerita dalam Natisha beranjak dari tradisi lisan yang berhasil ‘dicuri’ secara kreatif oleh Khrisna dari masa kecilnya di Borongtammatea, sebuah kampung di Jeneponto yang berjarak sekira 89 kilometer dari Makassar. Hal ini membuat setting cerita terasa demikian nyata dengan detail yang teliti.
Butuh ketabahan tersendiri bagi pembaca untuk bertahan menyimak novel dengan ketebalan 419 halaman yang terbagi dalam Hulu dan Muara serta tiga Bantaran Utama –Awal, Tengah, dan Akhir– dengan 21 bab. Apalagi, misteri soal parakang yang menjadi daya tarik utamanya, seakan lesap selama Bantaran Tengah, yang berarti sebanyak 159 muka (halaman 137 – 297).
Seluruh Bantaran Tengah dan sebagian Bantaran Awal, oleh Khrisna, dijejali dengan sulaman relasi antar tokoh dalam cerita ini, dengan alur majumundur yang padat. Selayaknya, rasa penasaran pembaca akan parakang, dirawat dengan sesekali menginterupsi plot yang terjalin. Mengapa? Itu sebagai upaya mencegah rasa bosan pembaca yang harus berkutat pada kenangan Tutu.
Memasuki Bantaran Akhir, yang bermula di muka ke-297, gaya bercerita Khrisna berubah menjadi semacam novel thriller ala Dan Brown, atau Es Ito serta Rizky Ridyasmara. Meski, daya suspensi Natisha terinterupsi oleh anak judul: Persembahan Terakhir dan membuat misteri soal korban ketiga dan keempat antara Laila dan Natisha, dengan mudah ditebak, namun selebihnya, Bantaran Akhir menghadirkan ketegangan yang memicu epinefrina.
Hadirnya kelong Makassar sebagai semacam teka-teki yang perlu diurai sebagai petunjuk menuju lokasi upacara magis yang akan digelar Rangka menambah kekuatan novel ini. Dengan cerdik, Khrisna menunjukkan bahwa kelong juga memiliki kekuatan untuk melipat lapisan makna sebagaimana permainan simbol Dan Brown.
Ketelatenan penulis mengatur kadar kedalaman lapis makna pada tiga kelong yang dihadirkan, dari paling mudah ke yang paling pelik, menunjukkan kualitas pemahamannya pada sastra ibu: kelong Makassar. Kerennya lagi, kelong yang digunakan dalam Natisha, murni racikan dari sang penulis. Mari menelusurinya.
Kelong pertama: Tod-dok ap-pa-ka am-mem-po / Na ka-lo-to-rok so-ngok-na / Bu-ngung ba-ra-ni / An-nang-ka-si Ba-tang-ka-le. Dalam kelong ini, arti sebenar atau makna yang tersurat menjadi petunjuk di mana upacara pertama akan digelar oleh Rangka: Bungung barania, tempat empat tokoh pembangun Kerajaan Binamu bermusyawarah sebelum beranjak mencari calon raja pertama Binamu.
Kelong kedua: Tu jan-na-nga ri tin-ro-na / Ka-ra-e-nga ri Bi-na-mu / Mab-bo-kong Sung-gu / Si tin-ro-ang ka-na ka-nang. Kelong ini ‘dimainkan’ sedemikian rupa sehingga Tutu, Podding dan Karaeng Tompo belingsatan untuk menemukan makna yang tersirat dalam kelong (Kompleks Istana awal Kerajaan Binamu), padahal lagi-lagi makna tersuratlah yang diacu (Kompleks makam Karaeng Binamu II).
Pada kelong ketiga, Khrisna lebih berani lagi. Ni ka-nay-ya lo-kok na mu-ri / Ak-ka-luk ri jek-nek cik-nong / Sa-u-kang ting-gi / Ri am–pang ni le-ok cek-la. Petunjuknya disisipkan berlapis, baik pada makna tersurat, maupun pada beberapa sukukata yang ditebalkan:kaluk ampang. Kaluk Ampang, kampung purba yang menjadi lokasi saukang, rumah peribadatan masyarakat Binamu pra-Islam di antara Tamanroya dan Sarroanging, sekarang bernama Kallakkang.
Kisah ini memang berakhir ketika Tutu dengan dukungan Kasing –sepupu Tutu, Podding –sepupu Natisha yang juga sahabat Tutu, serta Karaeng Tompo –kakak Nathisa, yang berkolaborasi dengan seorang polisi, Sodding –teman SMA Tutu, berhasil menggagalkan upacara persembahan terakhir Rangga dan menyelamatkan Natisha.
Namun bab terakhir –Muara, membuka kemungkinan cerita lanjutan. Kemunculan tokoh baru, Ki Balanipa Daeng Situru, seorang parakang sukkuk melalui tapa kamase, keturunan langsung I Kella Daeng Rangga, satu-satunya parakang yang lolos dari perburuan parakang Karaeng Binamu II, menegaskan hal ini. Ki Balanipa melarikan Rangka dari penjara lalu mengangkatnya jadi murid dan bersiap untuk kembali memburu Tutu. Maka mari menanti.
Karya : Muhammad Kasman (Kasman McTutu)
Rujukan:
- Disalin dari file Muhammad Kasman
- Pernah Tersiar di Koran Fajar Makassar, 5 Juni 2016