BANYAK PERCAYA ruangan itu adalah tempat di mana keputusasaan berlabuh. Ruangan ini berseliweran darah, tangis, dan histeris. Namun berbeda dari Darius, ruangan berbilik-bilik ini memberinya penghidupan yang layak juga kemewahan. Kematian adalah hidupnya. Dia dapat menatap sakratul maut berseliweran sedingin mayat, tanpa emosi, perasaan, dan empati. Terlalu repot buatnya.
Di salah satu biliknya berbatas tirai, terbaring seorang pasien perempuan lanjut usia. Mata putihnya terlihat. Nafasnya lambat dan berat walaupun mulutnya tersuplai oksigen dari sungkupnya. Tubuhnya sedikit bergetar seakan menolak dijemput maut. Darius berada di sampingnya fokus menatap grafik EKG[1], Seorang perawat sedang sibuk melakukan tensi dan mengecek cairan infus yang mengalir ke dalam pembuluh darah pasien tersebut.
Adalah anak lelakinya yang sedang memegang tangan si pasien. Anak perempuannya, berada di sampingnya terisak-isak dengan volume yang dikencangkan. Darius berusaha tidak peduli akan gangguan itu. EKG terlihat lurus. Ia menanyakan detail kondisi pasien kepada perawat.
Ia berbisik pada anak lelaki, untuk berbicara atau bernegosiasi di luar bilik. Berceritalah tentang kondisi Si Pasien itu panjang lebar. Bisa dibilang Darius cukup ahli dalam hal menghakimi hidup-mati.
“Maaf, kami sudah membantu sebisa kami, dan kami tidak bisa banyak membantu, seandainya saja ibu di CT Scan dan operasi kami bisa.….”
Belum ia selesai bicara, Tiba–tiba dari belakangnya seorang lelaki lanjut usia memakai peci khas lokal menegurnya,
“Ndi, adik saya ini tidak sakit, dia cuma kerasukan roh buyut saya yang rindu anak-cucunya. Tidak butuh operasi...”
“Maaf panggil saya dokter,” pungkasnya.
Selama beberapa detik terjadi kekosongan. Terlihat kantong plastik, Tersembul ujung botol air kemasan, entah apa sisa isi lainnya.
“Saya akan buktikan,” ujar Si Kakak.
Darius kemudian melihat kakak pasien tersebut berkomat- kamit membacakan sesuatu kepada Si Pasien. Bahasa itu tidak pernah didengarnya dan kesannya sangat primitif. Sayangnya itu tidak ada di dalam textbook dan pendidikan kedokteran yang menempanya bertahun-tahun di Inggris, juga seminar dan workshop kesehatan Internasional.
Darius kemudian duduk dengan kesal di meja yang berada tepat di depan bilik itu. Teringat pemeriksaan CT dan Operasi yang disarankannya hanya beberapa juta saja.
“Jadi bagaimana dengan pasien tadi dok?” tanya perawat.
“Cabut saja perlengkapannya, percuma saja perawatannya dilanjutkan, Tensi dan nadi hampir hilang. Operasipun menolak. Apa lagi yang diharapkan ? ”
Perawat kemudian mengangguk, ia kemudian curi pandang ke bilik pasien tersebut lewat sela tirainya. Ia melihat bagaimana Si Kakak menyemburkan air dari mulutnya seperti hendak memberi hujan ke tanah kering. Ia tersenyum kecut.
“Kalau mau gratisan, seharusnya dia mengurus Surat Jaminan Sosial dan Kartu Pengenal di desanya.” ujarnya
“Kakaknya yang tadi itu orang pintar kampung dan tidak ingin dirawat di sini. Bidan Puskesmasnya saja yang memaksa” imbuh perawat tersebut.
Seluruh staff di ruangan itu tahu, bahwa orang pintar kampung itu mengacu pada sandro, dukun selama ini menjadi hal yang dibenci Darius. Beberapa kali dirinya terlibat perdebatan dengan kepala dinas perihal penangkapan praktek pengobat tradisional di daerah ini yang dianggapnya malpraktek. Bahkan dirinya bersama polisi turun langsung penangkapan beberapa sandro kampung yang dituduhnya melakukan praktek aborsi dan penipuan. Ternyata salah seorang musuhnya kini berada seruangan dengannya, di depannya, di wilayah kuasanya dan seakan menantangnya. Saya pasti pemenangnya. ujar dalam hati Darius
Ia sering membandingkan kondisi tempatnya ini dengan rumah sakit ibukota tempatnya dulu bertugas, Penanganan cepat dan tepat senantiasa dilakukannya. Orang metropolitan dianggapnya memahami dokter dan obat selaku nabi ilmu pengetahuan. Tapi tujuannya hanyalah isi rekening dan masa depan. Di daerah sangat terpencil inilah pundinya menjadi cepat berlipat.
Pamannya, kepala daerah yang baru saja terpilih di sini. Jabatan kepala rumah sakit dipastikan untuknya dua tahun depan. Dengan koneksi serta cap lulusan luar negeri, tak ada yang berani melawannya sekarang. Terbukti setelah kepala dinas lawan debatnya telah dimutasi beberapa bulan lalu.
Darius kemudian melihat jam dinding di atasnya menunjukkan pukul empat dini hari. Pagi atau malam tak dapat dibedakan dalam ruangan yang selalu terang ini. Tak ada seorangpun memusingkan jam atau detik di sini. Hanya kemenangan antara hidup dan mati menjadi penanda akhir waktu.
Secangkir kopi dan, belum disentuhnya semenjak permulaan shiftnya. Beberapa jam lagi shift malamnya akan segera berakhir, Darius kembali ke mejanya dan mulai menulis laporan jaga untuk dokter penggatinya. Tercium olehnya asap dupa dari bilik di hadapannya. Perawat kemudian bergegas ingin memberi tahu untuk mematikan, namun Darius menahan.
“Biarkan saja. Siapkan saja laporan kematian ke kamar jenazah dan
ambulans, nanti saya sampaikan langsung ke dokter jaga nanti.” ucapnya penuh kemenangan
Dirinya sudah terlalu malas memusingi dan membuka debat. Dua anak yang cukup menjengkelkannya sedari beberapa hari yang lalu. Utamanya Si Kakak yang dianggapnya kafir kedokteran modern. Perawat kini mencabut satu persatu selang dan peralatan yang melekat di tubuhnya.
Azan kemudian berkumandang menembus dinding ruangan. Para penjaga pasien ada yang tertidur dan terkantuk-kantuk. Beberapa diantaranya telah sadar dan keluar dari ruangan, mungkin saja pergi salat untuk meminta mukjizat nabi Isa atau sekuntum doa sebagai harapan.
Darius merasa kaku leher dan mulai terserang kantuk. Dia hendak keluar ruangan dengan niat mencari tambahan energi.
Ditanggalkan jas putihnya lalu keluar sembari membawa segelas kopinya yang dingin. Dia menyesap kopi sembari membakar sebatang rokok di depan gerbang ruangan itu.
Mentari memecah gelap dan sepertinya masih malu untuk terlihat, Ada kemalasan pada dirinya untuk melanjutkan laporannya dan kembali ke ruangan, namun mendadak perawat mendekat dan mengatakan sesuatu yang mengaggetkannya :
“Pasien itu sadar dok!”
Darius tidak percaya dan sangat penasaran. Secara tergesa dia berjalan ke bilik pasien tadi. Betapa kagetnya ketika melihat pasien itu. Mata hitamnya terlihat dan kata mulai diucapkannya pelan. Dengan heran, ia mulai mengecek pemeriksaan tensi, nadi, dan pernapasan. Kesemuanya ada dan membaik. Masih terdengar anak perempuan dan lelakinya yang berkomat–kamit dan membelai kepala pasien. Pasien perempuan itu menatapnya dan tersenyum. Ia memanggil perawat untuk segera memasang kembali infus dan perlengkapan lainnya. Si Kakak tersebut menahan.
“Tidak perlu puang[2] dokter, rohnya sudah pergi. Adik saya tidak sakit.” ucapnya dengan tegas penuh kemenangan.(*)
----
[1] Alat ukur yang merekam aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu
[2] Panggilan penghormatan dalam masyarakat Bugis
Belum ia selesai bicara, Tiba–tiba dari belakangnya seorang lelaki lanjut usia memakai peci khas lokal menegurnya,
“Ndi, adik saya ini tidak sakit, dia cuma kerasukan roh buyut saya yang rindu anak-cucunya. Tidak butuh operasi...”
“Maaf panggil saya dokter,” pungkasnya.
Selama beberapa detik terjadi kekosongan. Terlihat kantong plastik, Tersembul ujung botol air kemasan, entah apa sisa isi lainnya.
“Saya akan buktikan,” ujar Si Kakak.
Darius kemudian melihat kakak pasien tersebut berkomat- kamit membacakan sesuatu kepada Si Pasien. Bahasa itu tidak pernah didengarnya dan kesannya sangat primitif. Sayangnya itu tidak ada di dalam textbook dan pendidikan kedokteran yang menempanya bertahun-tahun di Inggris, juga seminar dan workshop kesehatan Internasional.
Darius kemudian duduk dengan kesal di meja yang berada tepat di depan bilik itu. Teringat pemeriksaan CT dan Operasi yang disarankannya hanya beberapa juta saja.
“Jadi bagaimana dengan pasien tadi dok?” tanya perawat.
“Cabut saja perlengkapannya, percuma saja perawatannya dilanjutkan, Tensi dan nadi hampir hilang. Operasipun menolak. Apa lagi yang diharapkan ? ”
Perawat kemudian mengangguk, ia kemudian curi pandang ke bilik pasien tersebut lewat sela tirainya. Ia melihat bagaimana Si Kakak menyemburkan air dari mulutnya seperti hendak memberi hujan ke tanah kering. Ia tersenyum kecut.
“Kalau mau gratisan, seharusnya dia mengurus Surat Jaminan Sosial dan Kartu Pengenal di desanya.” ujarnya
“Kakaknya yang tadi itu orang pintar kampung dan tidak ingin dirawat di sini. Bidan Puskesmasnya saja yang memaksa” imbuh perawat tersebut.
Seluruh staff di ruangan itu tahu, bahwa orang pintar kampung itu mengacu pada sandro, dukun selama ini menjadi hal yang dibenci Darius. Beberapa kali dirinya terlibat perdebatan dengan kepala dinas perihal penangkapan praktek pengobat tradisional di daerah ini yang dianggapnya malpraktek. Bahkan dirinya bersama polisi turun langsung penangkapan beberapa sandro kampung yang dituduhnya melakukan praktek aborsi dan penipuan. Ternyata salah seorang musuhnya kini berada seruangan dengannya, di depannya, di wilayah kuasanya dan seakan menantangnya. Saya pasti pemenangnya. ujar dalam hati Darius
Ia sering membandingkan kondisi tempatnya ini dengan rumah sakit ibukota tempatnya dulu bertugas, Penanganan cepat dan tepat senantiasa dilakukannya. Orang metropolitan dianggapnya memahami dokter dan obat selaku nabi ilmu pengetahuan. Tapi tujuannya hanyalah isi rekening dan masa depan. Di daerah sangat terpencil inilah pundinya menjadi cepat berlipat.
Pamannya, kepala daerah yang baru saja terpilih di sini. Jabatan kepala rumah sakit dipastikan untuknya dua tahun depan. Dengan koneksi serta cap lulusan luar negeri, tak ada yang berani melawannya sekarang. Terbukti setelah kepala dinas lawan debatnya telah dimutasi beberapa bulan lalu.
Darius kemudian melihat jam dinding di atasnya menunjukkan pukul empat dini hari. Pagi atau malam tak dapat dibedakan dalam ruangan yang selalu terang ini. Tak ada seorangpun memusingkan jam atau detik di sini. Hanya kemenangan antara hidup dan mati menjadi penanda akhir waktu.
Secangkir kopi dan, belum disentuhnya semenjak permulaan shiftnya. Beberapa jam lagi shift malamnya akan segera berakhir, Darius kembali ke mejanya dan mulai menulis laporan jaga untuk dokter penggatinya. Tercium olehnya asap dupa dari bilik di hadapannya. Perawat kemudian bergegas ingin memberi tahu untuk mematikan, namun Darius menahan.
“Biarkan saja. Siapkan saja laporan kematian ke kamar jenazah dan
ambulans, nanti saya sampaikan langsung ke dokter jaga nanti.” ucapnya penuh kemenangan
Dirinya sudah terlalu malas memusingi dan membuka debat. Dua anak yang cukup menjengkelkannya sedari beberapa hari yang lalu. Utamanya Si Kakak yang dianggapnya kafir kedokteran modern. Perawat kini mencabut satu persatu selang dan peralatan yang melekat di tubuhnya.
Azan kemudian berkumandang menembus dinding ruangan. Para penjaga pasien ada yang tertidur dan terkantuk-kantuk. Beberapa diantaranya telah sadar dan keluar dari ruangan, mungkin saja pergi salat untuk meminta mukjizat nabi Isa atau sekuntum doa sebagai harapan.
Darius merasa kaku leher dan mulai terserang kantuk. Dia hendak keluar ruangan dengan niat mencari tambahan energi.
Ditanggalkan jas putihnya lalu keluar sembari membawa segelas kopinya yang dingin. Dia menyesap kopi sembari membakar sebatang rokok di depan gerbang ruangan itu.
Mentari memecah gelap dan sepertinya masih malu untuk terlihat, Ada kemalasan pada dirinya untuk melanjutkan laporannya dan kembali ke ruangan, namun mendadak perawat mendekat dan mengatakan sesuatu yang mengaggetkannya :
“Pasien itu sadar dok!”
Darius tidak percaya dan sangat penasaran. Secara tergesa dia berjalan ke bilik pasien tadi. Betapa kagetnya ketika melihat pasien itu. Mata hitamnya terlihat dan kata mulai diucapkannya pelan. Dengan heran, ia mulai mengecek pemeriksaan tensi, nadi, dan pernapasan. Kesemuanya ada dan membaik. Masih terdengar anak perempuan dan lelakinya yang berkomat–kamit dan membelai kepala pasien. Pasien perempuan itu menatapnya dan tersenyum. Ia memanggil perawat untuk segera memasang kembali infus dan perlengkapan lainnya. Si Kakak tersebut menahan.
“Tidak perlu puang[2] dokter, rohnya sudah pergi. Adik saya tidak sakit.” ucapnya dengan tegas penuh kemenangan.(*)
----
[1] Alat ukur yang merekam aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu
[2] Panggilan penghormatan dalam masyarakat Bugis
Karya: Dhihram Tenrisau
Rujukan: