SAYA TERMASUK orang yang telat membaca novel Lontara Rindu yang ditulis S. Gegge Mappangewa. Padahal novel tersebut memiliki daya tarik yang kuat, karena merupakan pemenang lomba novel yang diadakan Republika tahun 2012. Siapapun pasti tahu, karya yang menjadi pemenang pastilah karya yang memiliki kualitas terbaik, termasuk novel Lontara Rindu yang mampu menyingkirkan ratusan novel peserta lomba.
Saya tak menemukan alasan yang berarti kenapa saya telat membaca novel tersebut, selain bahwa saya termasuk orang yang tidak terlalu mudah terpengaruh oleh hiruk pikuk sebuah karya terbaik. Saya biasa mendiamkannya, lalu pada suatu waktu yang kadang tidak terduga, saya akan melahapnya. Setelah membacanya Lontara Rindu saya tahu kenapa menjadi pemenang. Kisahnya mengharu biru. Apalagi saya menyukai kisah cinta yang tragis. Kisah cinta Halimah dan Ilham salah satunya.
Halimah dan Ilham serupa dua kutub yang berbeda, tapi memiliki rasa ketertarikan untuk saling melengkapi. Perbedaan pendidikan yang mencolok hingga perbedaan keyakinan yang harus diterabas demi menyatukan cinta mereka. Bagaimana Halimah dengan suka rela meninggalkan Azis, calon suaminya demi membuktikan cintanya kepada Ilham. Dan bagaiman luar biasa gigihnya Ilham menunggu Halimah hingga berhari-hari di pinggir jalan.
Dari cinta itulah, tumbuh satu peristiwa yang menohok hati, yakni kerinduan. Cinta dan kerinduan tak pernah bisa dipisahkan, tak pernah. Kerinduan membawa cinta dan cinta membawa kerinduan. Hanya saja, cinta bisa tumbuh pada jarak yang paling dekat. Sementara rindu hanya bisa tumbuh jika ada rentang jarak yang memisah.
Penyatuan cinta yang melanggar adat karena silariang (kawin lari) antara Halimah dan Ilham kemudian melahirkan sosok yang tangguh dalam bertarung rindu bernama Vito. Kerinduan yang dialami Vito, sungguh di luar kemampuan seorang anak seusianya, yang baru sepuluh tahun lebih. Rindu yang tarik ulur pada dua orang sekaligus. Bisa dibayangkan, bagaimana beban rindu yang datang bersamaan itu, kepada saudara kembarnya yang bernama Vino dan kepada ayahnya. Kerinduan itu pula yang membuatnya harus rela begadang di pos ronda, mendengar cerita dari para penjaga, demi bisa lari dari rindunya.
Kerinduan yang menumpuk itulah yang membuat Vito rela mengunjungi Amparitta demi bertemu ayah dan saudaranya. Mengunjungi tempat asing, tentu bukanlah perkara muda pula bagi anak seusia Vito. Tapi rindu mengalahkan segalanya. Sementara ibunya, mengalami pula rindu yang gelitar, tapi rindu ibunya hanya pada satu sosok, yakni Vino. Maka kerinduan Vito lebih besar dari ibunya, karena ia menanggung rindu kepada dua orang sekaligus.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) rindu memiliki arti sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu. Vito sangat berharap bisa bertemu dengan saudara kembaranya, Vino dan ayahnya, Ilham. Apakah rindu akan hilang setelah pertemuan? Jawabannya tentu tidak, sebab tidak ada rindu yang benar-benar bisa hilang setelah pertemuan, hanya menipiskannya sejenak kemudian menumbuhkannya kembali lebih seubur setelah pertemuan.
Berbincang tentang rindu, selalu saja mengarah pada lawan jenis,
antara lelaki dan perempuan, antara kekasih dan kekasihnya. Tapi dalam Lontara Rindu, rindu dikemas untuk usia yang lebih dini, untuk kiblat lain bernama keluarga. Membaca Lontara Rindu serupa mengarungi sungai yang penuh batu besar dengan arus yang deras menuju muara bernama pertemuan.
Suatu ketika, saya pernah ingin lari dari rindu, seperti Vito yang lari dari rindunya tapi percuma. Rindu punya radar untuk menemukan siapa saja yang ingin lari darinya. Rindu menemukan saya di sunyi dan di riuh manapun saya berada. Saya pikir semua orang akan gagal menghindari rindu.
Seseorang bisa saja menghindari pertemuan dengan berbagai alasan, tapi tak akan bisa menghindar dari rindu. Rindu menyusup lebih lembut dari air yang merembes di celah atap yang paling sempit. Rindu bisa berjalan di tengah pekatnya malam lalu menemukan kita terbaring, kemudian menindisi kita hingga senak. Entah rindu terbuat dari piranti apa? Ia bisa mendeteksi tiap wajah yang dirindukan, tiap kenangan, tiap inci peristiwa. Seperti yang melanda Vito dan Halimah. Rindu menghadirkan dengan vurgar tiap inci kenangan yang pernah mereka dilalui dan dirayakan bersama.
Sebenarnya tak ada kesepian, yang ada adalah merindukan keramaian, tak ada derita yang ada hanya merindukan bahagia, tak ada apa-apa jika tak ada rindu sebab rindu akan selalu bergandengan dengan harapan. Dan harapan selalu menuntut untuk diwujudkan. Mewujudkan pertemuan dengan harapan akan menghapus rindu adalah keliru, sebab pada pertemuan akan tercipta kenangan, dan kenangan adalah penyebab rindu yang paling dahsyat.
Rumah kekasih, 7 Maret 2016
Karya: Irhyl R. Makkatutu
Rujukan:
- Disalin dari file Irhyl R. Makkatutu
- Pernah tersiar di Koran Fajar Makassar, 13 Maret 2016