1.
Kami ada mencintai tanah
dan tanah kami anggap seperti ibu kandung,
yang mengajarkan kami menerima sedih tanpa sesal.
Bersiap menanggung duka lara,
airmata yang menerima selain kesedihan.
Meski, runcing jalan penuh bebatuan menjeritkan tapak.
Kami tetap berjalan bertelanjang kaki.
Demi paham pasang yang serupa perut yang berisi manusia.
Bakal jadi tabungan kami membaca alam,
sekalipun lukisan memuat mini kehidupan yang luas membentang.
Pasang menjadi kejut yang tak pernah usai
jika kami tak merasakan sesuatu yang mendebarkan
dan menenangkan.
rekat membungkus kulit kami.
Sebab, kami percaya bakal terselamatkan
dari perjalanan panjang yang penuh liku, duri,
sekalipun disambangi tanjakan tuk menemui
gelap sebelum tiba di surga.
Kami mengenakan passapu’—pengikat kepala
yang erat bagi Orang-Orang Dalam.
Sebab, kami pemberani yang tak pandai lari
dari perkara, kendati taruhannya mesti mati.
Kami ada mencintai tanah
dan tanah kami anggap seperti ibu kandung,
yang mengajarkan kami menerima sedih tanpa sesal.
Bersiap menanggung duka lara,
airmata yang menerima selain kesedihan.
Meski, runcing jalan penuh bebatuan menjeritkan tapak.
Kami tetap berjalan bertelanjang kaki.
Demi paham pasang yang serupa perut yang berisi manusia.
Bakal jadi tabungan kami membaca alam,
sekalipun lukisan memuat mini kehidupan yang luas membentang.
Pasang menjadi kejut yang tak pernah usai
jika kami tak merasakan sesuatu yang mendebarkan
dan menenangkan.
2.
Kami penuh memakai hitam yang tersemat rekat membungkus kulit kami.
Sebab, kami percaya bakal terselamatkan
dari perjalanan panjang yang penuh liku, duri,
sekalipun disambangi tanjakan tuk menemui
gelap sebelum tiba di surga.
Kami mengenakan passapu’—pengikat kepala
yang erat bagi Orang-Orang Dalam.
Sebab, kami pemberani yang tak pandai lari
dari perkara, kendati taruhannya mesti mati.
Bulukumba, 2014-2015
Karya : Al-Fian Dippahatang
Rujukan:
- Disalin dari blog pribadi Al-Fian Dippahatang
- Pernah tersiar di Koran "Fajar" Makassar, Minggu 31 Januari 2016
Puisi Al-Fian Dippahatang |